Powered by Blogger.

Perempatan Mtaraman, Pagi ini (4 Maret 2004)

    BlogItemURL> www.ucuagustinprosa.blogspot.com







    Bus ku membelah pagi yang menyirna dijerang siang. Melewati gang-gang yang tersebar di kiri kanan jalan. Mendahului gegas orang yang berlalu lalang terburu di trotoar. Supirnya ngebut. Metromini dengan nomor sama "49" mengejarnya dari belakang. Aku terburu, tentu. sebuah rapat menungguku tepat jam 10.15 di Cikini. Harusnya aku naik bajaj, mungkin baik juga naik taksi. Tapi ku pikir berhemat sedikit dengan waktu cukup luang yang masih tersedia, pasti akan mampu juga membuatku sampai di kantor tepat jam 10.15.



    Sial. Selalu terjadi hal-hal yang tak terencanakan.

    mengetahui dikejar bus dengan nomor dan tujuan sama, tak ingin bersaing lebih ketat dengan jarak yang sangat dekat. Busku memperlambat jalannya. Sengaja berhenti lama di pasar burung pramuka dan tak naik di atas jembatan yang menghubungkan pasar burung dengan sepasi jalan matraman, busku sengaja melalui kolong dan menunggu lampu merah menyala kembali di sana.



    Di perempatan itulah, aku melihat hal langka di Jakarta.

    Mungkin aku yang naif.

    Mungkin mereka yang mulanya individual tiba-tiba menjelma menjadi Zoon Politicon hanya karena terbawa suasana.



    Seorang tukang jambu batu, tepat di perempatan Matraman yang dikepung keriuhan kendaraan, mengalami kecelakaan. Buah-buah jambu berwarna kuning segar dan sebagian masih hijau menghambur ke jalan. Tumpah begitu saja bagai hujan tiba-tiba yang turun dari langit tanpa diduga. Jambu meruah itu mengingatkanku pada suatu masa sepulang dari sekolah ketika aku masih berada di sukabumi sana. Hujan buah jambu air!



    Ya, kerap dulu saat menyusur jalan kampung, ketika mencoba berpetualang bersama teman-teman kecil di sana, mencari jalan untuk bisa lebih cepat sampai ke rumah, kami dikejutkan oleh serbuan jambu air kemerahan yang jatuh begitu saja dari langit di atas kami. Langit dedaunan hijau yang ternyata di atasnya seorang Bapak atau Akang-akang tengah memetiki buah dan si buah yang nakal akan lari dari jangkauan tangan si pemetik dan bergedebuk ke tanah setelah melalui sebuah proses gaya tarik bumi yang membuatnya luruh ke bawah. Kami akan memungutinya dengan berjingkrak. Memasukkan sebanyak mungkin jambu air yang bisa diraih tangan dan disembunyikan ke dalam tas kami yang telah sempit oleh buku tulis "leces" berwarna ungu yang dijual di warung dekat perpustakaan sekolah. Dan sebelum si Akang pemetik turun dari pohon setelah sebelumnya berteriak-teriak, melarang kami memunguti buahnya, kami telah terbirit dan lari sambil cekikikan. Tentu saja, hal tersebut dilakukan bila kami tak mengenal si pemetik. Karena bila dia mengenal kita, tak akan mungkin dia melarang buahnya yang terjatuh dipungut. Andaipun dia melarang, kami pun tak akan nekad melakukan, dia bisa melaporkan semua itu pada orantua kami.



    Tapi bukan hujan buah yang seperti itu yang terjadi di perempatan Matraman pagi ini. Sebuah roda belakang yang patah di jalan. Itulah yang membuat jambu-jambu batu itu tumpah. Roda berbulatan besar yang memiliki puluhan jari itu melenceng keluar dari bandulan. Bannya tampak kempis karena menahan berat yang berlebihan. Dan tiba-tiba solidaritas bagaikan sebuah semburan yang memercik deras. Tukang koran, para pejalan, anak-anak pengamen yang masih membawa kecrekan, tukang asongan, dan kernet supir yang menganggur, serempak berlari menuju arah buah tumpah. Bukan untuk dicuri atau dicicipi, tapi untuk sama-sama dengan segera menyelamatkan buah-buah bulat itu dari gilasan aneka ban kendaraan yang siap melembekkan apa saja yang menghalanginya di atas aspal. Tak ada sebuah suara klakson pun terdengar, bahkan beberapa puluh detik setelah lampu hijau kembali menyala. para pengendara itu... tiba-tiba tampak menjadi penyabar semua...



    Pagi ini aku mendapatkan Jakarta yang lain.

    Jakarta yang jauh dari gelimang semangat individualisme yang kerap menggigit tak kenal ampun. Jakarta yang jauh dari materialisme yang demi sebuah jasa untuk membukakan atau menyetopkan pintu taksi yang tak diperlukan saja, harus merogoh seribu perak. Seribu perak yang bila tak diberikan, taksi yang kita tumpangi akan dijadikan objek kekerasan.



    Mengingat apa yang terjadi beberapa waktu tadi, aku jadi merenung tentang melodrama. Apakah kerap hidup berjalan tidak seperti biasa? Atau justru, kebiasaan dan ketidakbiasaan itulah yang menjadi melodrama kehidupan.



    entah apa hasil renunganku kini. Tapi sederet kalimat dari sebuah buku yang pernah kubaca tiba-tiba melintas dengan cepat di kepala. "Andaikata alam semesta tidak dikuasai melodrama. Pasti bumi tidak bulat, satu jam tidak selamanya enam puluh menit dan daun gugur tidak selalu jatuh ke tanah. Mungkin pula kuping manusia tidak simetris dan otak selamanya tidak terletak di kepala. Segala sesuatu pasti ada aturan. Dan aturan itu sendiri tidak lain adalah melodrama".



    Dan sekarang mungkin aku telah tahu, bahkan kebetulan-kebetulan dalam keseharian. Hal-hal yang tidak biasa terjadi di sana. Juga kejutan-kejutan entah itu kecil atau besar, pastilah juga sebentuk melodrama lain. Melodrama seperti yang terjadi di pagi pada perempatan Matraman di tengah kepungan kendaraan. ***





Post Title

Perempatan Mtaraman, Pagi ini (4 Maret 2004)


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2004/09/perempatan-mtaraman-pagi-ini-4-maret.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls
Cpx24.com CPM Program

Popular Posts

My Blog List

Blog Archive

Total Pageviews