Powered by Blogger.

Catatan Tentang Piknik Yang Tak Menyenangkan I


    Lelaki itu menyukai puisi seperti dia menyukai es krim. Puisi membuat hatinya meleleh bila ia sedang panas dan senyumnya rekah, meski ia tengah tak ingin. Dia juga menyukai kacamata pacarnya yang bertangkai hitam. Meski batang tebu—yang kulitnya telah dikupas—warnanya kuning agak kehijauan, tapi dia kerap membayangkan tangkai kacamata pacarnya adalah tangkai tebu. Kapanpun ia mau, ia bisa menjilatnya dan menemukan manis yang dirinduinya di sana. Saat mendengar fantasinya, sang pacar yang bertubuh aduhai seperti wonderland, hanya tersenyum diam-diam.

    Lelaki itu suka senyum diam-diam sang pacar. Seperti kotak musik yang dihadiahkan temannya dari Jerman. Senyum diam-diam dan kotak musik dari Jerman. Keduanya ditaruh di sudut hati dan bisa mengobati sunyi kala si lelaki benar-benar terhisap sepi. Itu telah dibuktikannya berkali-kali.

    Hanya saja si lelaki tak tahu, kalau pacarnya cemburu dengan kotak musik dari Jerman. Perempuan itu mengira, lelaki kekasihnya menyukai si pemberi hingga menjaga hadiah yang diberikan dengan sangat hati-hati. Tak mau kalah, suatu hari ketika si lelaki berulang tahun yang kedua puluh lima, sang pacar memberinya hadiah sebuah piano sungguhan. Berharap lelaki itu lupa dengan kotak musik Jerman dari perempuan yang diakuinya sebagai teman.

    Lelaki itu dengan tulus mengucapkan terimakasih dan ia begitu senang. Dimainkannya lagu ‘Fur Elise’ untuk kekasihnya yang bernama Rosa. Rosa tampak bahagia meski ia gengsi menghadiahkan ciuman untuk si pacar.

    Lelaki yang jarinya masih menempel di atas tuts piano itu maklum akan sikap kekasihnya, ia pun lantas memainkan lagu yang begitu saja diciptanya, ‘Rosa Kekasihku Yang Tak Ekspresif’ begitu judul lagunya. Untuk membuat cemberut di wajah Rosa bertahan hanya sebentar, lelaki itu membingkiskan hadiah balasan untuk piano besar yang dihadiahkan Rosa untuk ulang tahunnya. Aku ingin mengajakmu kencan di sebuah taman, ucapnya. Sebuah piknik yang pastinya akan sangat menyenangkan.

Post Title

Catatan Tentang Piknik Yang Tak Menyenangkan I


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2007/09/catatan-tentang-piknik-yang-tak.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls

Catatan Tentang Piknik Yang Tak Menyenangkan II


    Lelaki itu membeli sebotol Chivas, memasukkan roti garlic panjang ke dalam keranjang, tiga butir apel Fuji, setengah kilogram anggur hijau berwarna segar dan empat butir telur rebus beserta dua bongkah besar kentang bakar. Bermaksud untuk membuat kejutan, di bawah Tupperware kentang bakar, diam-diam si lelaki menyelimuti sebuah puisi dan hendak membacakannya di depan sang kekasih, nanti.

    Volkswagen Beetle mungil warna biru berlari kencang di jalan. Matahari hangat sedang. Jim Morrison terdengar melengking menyanyikan bait “C’mon baby light my fire…” yang diikuti berkali-kali oleh si lelaki. Seperti biasa, Rosa hanya tersenyum diam-diam sambil menikmati angin yang menggulung anak rambut di dahinya. Kaca mata minusnya yang bertangkai hitam kali itu tak tampak seperti batang tebu di mata si lelaki. Kekasihnya itu tengah sibuk dengan jalanan yang kadang melebar kadang menyempit, sesekali terdengar bunyi rem yang mendecit.

    Beberapa waktu kemudian, mereka sampai di tempat tujuan.

    Yang dilihat pertama kali oleh Rosa di taman itu adalah langit yang agak gelap, empat pasang bebek hitam yang sedang berenang di danau, pohon cengkih yang dengan mustahilnya dibiarkan tumbuh di tengah lapangan oleh si pengelola, dan deretan warung makan franchise yang membuatnya tak lagi merasa tengah berada di sebuah taman.

    “Yuhuuuu… Kita sampai!”

    Saat si lelaki dengan ceria berkata demikian, kepala Rosa membayangkan Central Park, lalu terbang ke Hyde Park dan kemudian berubah menjadi… Aduh, setidaknya yang namanya taman ya seperti Kebun Raya Bogor lah! Gerutunya, lagi-lagi, diam-diam.

    Lelaki itu ingin membawa Rosa ke sebuah tempat yang akan membawa mereka lebih dekat dengan langit. Mengamati pucuk-pucuk pohon sambil berjalan berdempetan mengakali rumput-rumput liar yang tumbuh mengganggu kaki para pengunjung di jalan setapak. Maka tak ayal tempat yang agak menepi dekat hutan itulah yang dijadikan pilihannya. Sedang Rosa semalaman telah berkhayal akan piknik menyenangkan berduaan di hamparan rumput hijau terpotong rapi yang bergelimang cahaya. Makan siang a la de la carte, minum Chivas Regal ditingkahi suara hening alam, dan kekasihnya yang agresif itu akan mencuri sedikit cium dari bibirnya saat mereka tiduran setelah kenyang makan siang. Tapi di tempat ini!? Rosa menghembuskan nafas panjang.

    Karena si lelaki telah bersama Rosa selama lebih dari dua tahun, dan itu artinya adalah sebuah hubungan yang lumayan cukup lama, si lelaki bisa tahu bahkan saat kancing di ujung bawah baju Rosa, tak sama warnanya. Perubahan sekecil apapun yang terjadi dengan kekasihnya, bisa dia endus dengan mudah...

Post Title

Catatan Tentang Piknik Yang Tak Menyenangkan II


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2007/09/catatan-tentang-piknik-yang-tak_21.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls

Catatan Tentang Piknik Yang Tak Menyenangkan III


    “Kamu nggak senang ya, dengan tempat ini?” tanyanya.

    "Kebiasaan banget sih kamu, main sembarang tuduh saja.” Rosa tak suka kekasihnya tahu dengan pasti keadaan hatinya.

    “Nggak ada yang nuduh kamu, ah. Aku cuma bertanya kok.” Si Lelaki kini tahu pasti Rosa memang tak senang dengan tempat piknik yang dipilihnya.

    “Ya kalau kayak tadi cara pengungkapannya, ya itu nggak nanya dong, namanya.” Ekspresi wajah Rosa kini seperti lelehan lilin cair yang mengeras.

    Ingin si lelaki menarik lagi lagu yang semalam diciptakannya dengan spontan, Rosa Kekasihku yang Tak Ekspresif. Dengan cara yang cukup menyebalkan, si lelaki kerap heran dengan ekspresi-ekspresi kekasihnya. Kalau yang berhubungan dengan ekspresi cinta, Rosa kelihatan sangat tumpul, bebal, hati-hati dan terlalu jaga image. Tak mau mencium duluan, tak pernah sekalipun bilang ‘I Love You’ kecuali bila di atas ranjang dan itu pun setelah ia menghiba meminta, menolak disebrangkan di jalan sambil digandeng tangan dan tak pernah menggelendot manja seperti kebanyakan tingkah mesra perempuan kepada kekasihnya. Rosa tak mampu menampakkan kemesraan baik di depan publik atau pun saat sedang bersama teman-teman. Tapi untuk ekpresi-ekpresi yang lain…. Uhhh… Rosa jagonya! Terutama untuk urusan marah.

    Dan di taman itu…

    Sang lelaki sangat tak suka ekspresi lelehan lilin cair yang mengeras di wajah Rosa. Ia ingin segera mengembalikan semua ke keadaan semula. Bukankah ini adalah piknik dan mereka harusnya bersenang-senang bukannya saling marahan?

    “Aku minta maaf deh kalau begitu,” ucap si lelaki yang tak suka dengan suasana dingin permukaan es.

    “Kok minta maaf sih? Kayaknya nggak ada yang salah deh,” Rosa tetap dengan ekspresi kerasnya.

    “Ya sudah, jadi kamu maunya gimana? Kita pulang saja?”

    “Kamu mau kita pulang?”

    “Ya enggak, aku tanya kamu, kamu mau kita pulang apa bagaimana?”

    Hening…

Post Title

Catatan Tentang Piknik Yang Tak Menyenangkan III


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2007/09/catatan-tentang-piknik-yang-tak_8902.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls

Catatan Tentang Piknik Yang Tak Menyenangkan IV



    Mereka berdua berada tepat di tengah taman. Sebelah barat lahan parkiran, sebelah timur kerumunan keluarga yang sedang makan si di resto franchise, sebelah selatan danau yang berkeriyap menyilaukan sedangkan sebelah utara adalah hutan yang akan dituju si lelaki—tempat mereka rencananya akan menghamparkan karpet plastik tipis, nanti.

    Bila dilihat dari tempat di mana jejeran warung franchise berada, cara Rosa dan sang lelaki berdiri, cukup menggelikan dan mencuri perhatian. Sejak keluar dari lahan parkiran, tepat di tengah taman, kedua orang yang tiba-tiba berhenti berjalan itu tampak seperti patung. Diam membatu dengan posisi yang tak berubah. Tangan kiri si Lelaki membawa karpet plastik tipis sedang tangan kanannya membawa radio kecil yang rencananya akan diputar untuk menambah manis kegiatan piknik. Dan lihatlah si perempuan… Ia membawa keranjang piknik ukuran sedang di tangan kanan dan tangan kirinya cuma melenggang dengan telapak yang sesekali terkepal.

    Hening…

    “Kayaknya kita bukan patung, deh. Kok diam saja begini, sih?” Ada suara dengan bendera putih tanda damai yang menyembul keluar dari intonasi kalimat yang diucapkan Rosa, setelah sekian lama keduanya terdiam. Sebersit kesadaran bahwa acara piknik siang itu merupakan rangkaian dari perayaan ulang tahun sang pacar, membuat Rosa berusaha tidak terlalu egois dan melumerkan emosinya. “Sebenarnya kamu mau ajak aku kemana sih?”

    Wajah perempuan di hadapannya kini terlihat seperti matahari sore yang melembut. Lelaki itu menarik nafas lega, diam-diam. Ia sungguh tak suka suasana kaku tak nyaman yang muncul di luar skenarionya, barusan. “Ngomong kok kebanyakan sih, sih? Nggak bisa yah kalau nggak pake sih?” Lelaki itu sengaja mencibir. Ia tahu, Rosa suka dan paling nggak tahan kalau digoda.

    “Apaaaaan sih? Nggak penting banget deh ih, komentarnya!” Senyum di bibir Rosa mulai mengembang.

    Andai saja Rosa adalah gadis lain yang pernah juga diajaknya ke tempat itu pada suatu week end yang lain, maka sebuah cubitan kecil manja pasti turut mendarat entah di lengan atau paha lelaki itu. Tapi tentu saja Rosa bukan gadis itu, dan salah satu alasan lelaki tersebut meninggalkan gadis lain tersebut adalah hal itu. Alasan konyol yang masuk akal, sebenarnya. Lelaki itu tak suka bila kulit lengan atau pahanya terkelupas dan lecet. Lagian, gadis lain itu tak menyukai puisi. Tak mengenal Pablo Neruda, tak mengetahui Ayu Utami atau Seno Gumira Ajidarma. Dan yang paling parah, gadis lain itu mengira Haruki Murakami adalah manajer restoran Hanamasa yang terakhir buka cabang di Jakarta. Eewwww… Mengerikan bukan?

    Tapi Rosa…

    Langit yang sejak tadi agak gelap mencurahkan hujan dingin tiba-tiba yang merintiki mereka. Seguratan benda cair menetes dari ketinggian, menghinggapi pipi pualam Rosa. Membuat perempuan itu melepas kacamatanya, menengadah ke langit dan menjumpai selarik awan bersisik yang mengingatkannya pada puisi yang dikutip Neil Geiman dalam novel Stardust. Mackerel sky/ Mackerel sky/ Not Long Wet/ Not Long Dry…* Ya, ini pasti gerimis yang sebentar.

    Dan lelaki itu terpana. Entah puisi lembut yang dirapal Rosa dalam hati ataukah posisi wajah Rosa yang mendongak dan memperlihatkan leher putihnya yang jenjang yang membuat desiran itu tiba-tiba muncul ke permukaan, begitu saja menghadirkan denyar birahi di dada si lelaki. Membuatnya ingin menggumuli sang pacar saat itu juga di bawah hujan.

    Sekali dalam hidup, tak apa bila kita melakukan secara spontan apa yang kita inginkan, demikin batin si lelaki. Dan begitu saja benar-benar dilepaskannya radio di genggaman tangan kanan. Dibuangnya karpet plastik tipis dari genggaman tangan kiri. Ditubruknya Rosa yang masih menghadapkan wajah ke langit sana. Diciuminya leher perempuan itu seakan ia tak pernah mencium bagian tersebut sebelumnya. Digapainya bibir Rosa yang berusaha berontak tapi kemudian terdiam setelah lelaki itu memeluknya lebih erat. Birahi liar yang diendus Rosa dari dengus nafas lelakinya, membuat perempuan itu tahu bahwa menikmati saja moment tersebut adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat itu.

    Untuk pertama kalinya, mereka berciuman di tempat umum. Dalam hujan sebentar yang dingin, tepat di tengah taman. Jantung lelaki itu berdebar hebat dan dadanya membengkak seakan tak cukup besar untuk memuat semua perasaan yang saat itu ingin ditampungnya. Dan saat ia membuka mata seraya mencium kembali bibir Rosa, mata hitam perempuan itu balas menatapnya. Dan dalam mata itu si lelaki tak bisa membayangkan untuk berpisah darinya….



    __________________

    *Puisi ini adalah salah satu puisi weather lore (cerita rakyat tentang cuaca), untuk meramalkna cuaca. Pola langit yang mirip sisik ikan Mackerel, berupa awan-awan sirus yang panjang dan seperti benang-benang halus, menandakan bahwa sistem bertekanan rendah yang membawa kelembaban sedang mendekat. Ini biasanya berarti meningkatnya laju angin, awan dan hujan 24 jam kemudian.

Post Title

Catatan Tentang Piknik Yang Tak Menyenangkan IV


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2007/09/catatan-tentang-piknik-yang-tak_8134.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls

Catatan Tentang Piknik Yang Tak Menyenangkan V


    “Plak!”

    Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di pipi si lelaki. Menyadarkan keadaan basah yang mulai menguyupi kemeja kasual dan tentu saja—celana dalam si lelaki dimana adik kecil di dalamnya telah mulai bandel dan mengeras

    Rosa berhasil berontak dari dekapan. Perempuan itu berlari menuju tempat berteduh terdekat setelah menamparnya. Nafasnya terengah, entah karena sisa ciuman yang atas nama kesopanan di tempat umum—terpaksa harus dihentikan, atau memang karena emosi dan akibat dari lari dengan tenaga begitu kuat.

    “Tapi Rosa… Aku...!” Lelaki itu berteriak sambil menyusul kekasihnya. Hujan tak tambah membesar.

    “Sekarang bagaimana? Masih mau pikinik?!” Sergap Rosa dengan mata mendelik begitu si lelaki sampai di tempatnya. “Makanan jatuh di tanah, karpet kuyup dan radio trasistor ibuku pasti rusak dimasuki air! Bajuku…” Perempuan itu mengusap-usap baju putihnya seolah ujung jari itu bisa mengeluarkan efek panas dan mengeringkan pakaian yang telah menceplak lekuk tubuhnya.

    “Tapi kamu nggak marah dengan…” Lelaki itu terlihat gugup.

    “Ciuman tololmu?! Di muka umum?!” Wajah Rosa tampak begitu marah. Matanya membesar dan kembali mendelik. Mata yang sama sekali berbeda dengan mata milik perempuan yang beberapa waktu tadi dipeluk si lelaki di bawah hujan. Dan itu sangat mengecewakan si lelaki, membuatnya tiba-tiba saja sangat bersedih.

    Lelaki itu berpikir adakah Rosa tak kunjung mengerti juga tentang rahasia dari sebuah ciuman? Kekuatan yang bisa mengembalikan pangeran kodok menjadi tampan. Energi yang mampu membuat putri tertidur kembali bangun dan memiliki binaran mata yang lebih bercahaya dari cangkang telur yang di dalamnya berisi cahaya bintang dan dua belas rembulan.

    Dan perasaan bahwa kekasihnya tak menikmati ciuman yang bagi si lelaki teramat dramatik tadi—sebuah ciuman yang membuatnya merasa menjadi lelaki paling romantis sedunia, membuat lelaki itu benar-benar merasa tak berguna. Ia menatap larik hujan dengan hampa.

    “Jadi sekarang kamu maunya gimana?” tanya si lelaki sambil memandang keranjang makanan yang berubah kecoklatan di tengah hujan.

    Rosa tak terdengar memberikan jawaban. Hanya saja andai lelaki itu bisa mendengar teriakan Rosa dalam hati, berkali perempuan itu menjerit, “Ini benar-benar piknik yang tak menyenangkan! Ini benar-benar piknik yang tak menyenangkan!”***



    FIN

Post Title

Catatan Tentang Piknik Yang Tak Menyenangkan V


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2007/09/catatan-tentang-piknik-yang-tak_7808.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls

Limun Jeruk & Tequila





    Gadis itu mencuri papan tanda "KELUAR" dari gedung-gedung perkantoran
    dan menggantungnya di atas setiap pintu di dalam rumahnya supaya
    setiap saat ia selalu memiliki jalan keluar

    Setiap senja ketika matahari terbenam ia naik ke atas atap
    Berkata pada temannya bahwa ia akan bermeditasi
    Padahal diam-diam ia membacakan seluruh berita kejadian hari itu pada langit senja
    agar TUhan bisa belajar dari kesalahan yang diperbuatnya

    Gadis itu ingin menjadi manusia yang lebih baik
    tapi ia jarang menemukan ruang untuk hal tersebut dalam catatan hariannya

    Suatu ketika saat ia terlanda bosan yang hebat, iseng ia membangun replika menara Eiffel setinggi dua meter dari tangkai-tangkai pasta panjang. Ketika pacarnya melihat replika tersebut, ia pun berkomentar "Pasta berasal dari Italy. Harusnya kau menggunakan bahan dari Perancis". Dan dengan berang gadis itupun membalas, "Kau saja yang coba bikin Menara Eiffel dari Croissant keparat!"

    Diam-diam lelaki itu paham apa maksud si gadis. Dan ia pun berkata, "Matamu tampak seperti bola kristal penuh limun jeruk"
    Si gadis menjawab, "BUkan limun jeruk, tapi tequila."
    Lelaki itu ingin tahu bagaimana si gadis menjelaskan gelembung-gelembung yang tampak, maka gadis itu berkata kalau gelembung-gelembung itu adalah matanya yang mendidih karena terlalu lama menatap matahari.

    Lelaki itu tahu si gadis membual dan matanya adalah limun jeruk bukan tequila. Karena mata itu pernah dikecupnya dulu dan rasanya manis. Manis bagai kue-kue kering berbentuk kunci yang biasa dibuat si gadis sekali seminggu di dapurnya.

    Lelaki itu tahu perihal kue berbentuk kunci dan baginya itu lucu.
    Hanya saja lelaki itu tak tahu, setiap malam sebelum tidur, si gadis menjilati ujung jarinya dan menggambar sebuah pintu di atas hatinya.

    Gadis itu berharap, suatu hari kue berbentuk kunci akan menemukan jalan keluar dari labirin pencernaannya. Menemukan jalan menuju hatinya. Dan berbekal kue berbentuk kunci, hati itu akhirnya akan melarikan diri dari sangkar kehendak dirinya.***



    __Shane M. Welan ___
    Utan Kayu International Literary Bienale

Post Title

Limun Jeruk & Tequila


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2007/09/limun-jeruk-tequila.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls

Memanggil Masa Kanak...




    Kami bertiga.
    Aku di antara dua lelaki itu.
    Lelaki yang bukan lelaki
    (yang kenal gue pasti tahulah apa maksudnya.
    clue; tempat mangkal mereka di ohlala Thamrin bow... ;p)

    Taman Menteng jam 11.12 malam riuh dengan kegiatan bola-bola kaki dan bola tangan. Football. Basketball. Lampu sorot menyilaukan. Memerihkan mata dan membuat beberapa bayangan tampak seperti shiluet yang anehnya justra tak nampak di bawah cahaya.

    Lelaki-lelaki di samping kiri-kananku itu ingin melihat lelaki.
    Ingin menatap bulir keringat dan tubuh-tubuh yang tegap.
    Menyesap semua image visual itu sebagai hiburan gratis di antara hempasan angin malam. Dan aku di sana sebagai faghag. Cukup sebagai penggembira mereka saja...

    Aku tidak suka tubuh kekar.
    lelaki seksi bagiku adalah mereka yang punya kepala.
    Tua atau muda. Sebaya, beda agama, atau beda ras. Aku tak perduli.
    Kepala lah yang pasti akan membuatku bergairah, meski tentu saja... aku paham betul bahwa aku tak mungkin bisa bercinta cuma hanya dengan kepala semata. (Leak kali ya bow, hahaha)

    Dan di antara keriuhan tendangan bola dan bulir keringat para lelaki basket dan bola malam itu, kami sepakat untuk melakukan permainan memanggil ingatan. Tidak seperti permainan jelangkung, tapi mungkin hampir ada kemiripan. Datang dijemput, pulang diantar...

    Ingatan...

    Dimanakah letaknya di kepala?
    Ataukah sebenarnya ia sama sekali tak pernah berada di sana?

    Malam itu begitu saja Kami merindukan ingatan dan ingin memamah satu saja serpihannya. Tapi Ingatan yang mana? Memory tentang apa?

    Sebuah kata sepakat didapat: masa kanak.
    Maka permadani pun disiapkan, penjelajahan pun dimulai...

    Begitu jauh...
    Bagiku rasanya perjalanan itu terasa begitu jauh.
    Dinding-dinding misteri masa kanak ku sepertinya begitu tebal dan hitam. Aku tak bisa merengkuhnya. Tak mampu mengingat banyak dari peristiwa yang terjadi di masa balita.

    Cuma satu.
    Ya, hanya satu serpih saja yang mampu kugali malam itu.
    The sadest night in my life, sepertinya.

    Gelap.
    Aku dikurung dalam ruangan.
    Aku menangis.
    Rontaanku begitu kuat.
    Entah dimana.
    gelap.
    Aku selalu ingat wrana hitam tanpa cahaya itu.
    Membuatku tak berdaya.
    Tangis dan rontaan menghabiskan tenaga.
    Airmata entah dimana posisinya...

    Aku tak suka ingatan itu. Tapi sialnya itulah satu-satunya memori yang bisa kupanggil. Sebuah ingatan yang membuatku sekarang tak menyukai rasa "TAK BERDAYA". Aku tak suka, merasa tak berdaya... Aku membenci perasaan itu.

    Tapi sahabat disampingku, Lucky, menelusur dengan baik masa balitanya. Tentang pelukan pamannya yang hangat dan fully protected. Tentang cerita 'role play' yang menjadikannya princess yang akan diperkosa pirate dan hendak diselamatkan prince charming. Tentang ketertarikannya pada si pirates yang berandalan dan ugal-ugalan. Tentang masa kanak ketika di kebanyakan waktu hanya terdiri dari ada ia dan ibunya saja.

    Dan Sahabat satunya...
    Bagiku menakjubkan tentang bagaimana cara anak lelaki tertarik pada boneka. Tentang bagaimana ia mengacuhkan pistol-pistolan dan mengabaikan mobil truk-trukan. Tentang suara candy-candy yang lebih menarik minatnya ketimbang melihat film dengan image audio visual penuh kekerasan dan perang-perangan...

    Malam itu adalah memang malam.
    Dan seperti filosofi The matrix yang bilang "every begining has an end", maka malam itu pun berakhir.

    Tapi pikiranku tidak...

    Lucky, Daud,
    Suatu hari aku pasti akan menulis tentang malam itu.
    Tentang malam penuh lelaki yang membuat mata kalian berbinar.
    Tentang malam yang penuh dengan cerita masa kanak kalian yang membuat mataku bersinar.

    Taman Abu-abu.

    Ya!
    Aku pasti akan menulis novel itu suatu waktu...

    ***andai aku TUhan dan bila TUhan adalah seorang vampire,
    aku pasti akan membuat malam tak akan pernah berakhir...****

Post Title

Memanggil Masa Kanak...


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2007/09/memanggil-masa-kanak.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls

My beautiful dark angel...






    Dark....
    your hair,
    your eyes,
    your brain,
    your nail,

    Black...
    your words,
    your spells,
    your dreams,
    your hope,

    *Come closer my beautiful black n dark hunter...
    Come quickly you slut - dark angel!

Post Title

My beautiful dark angel...


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2007/09/my-beautiful-dark-angel.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls

Putri Duyung & PEnata Lampu





    Suatu malam ketika cahaya jatuh di kakinya, penata lampu itu terluka. Ia mendekat ke arah dermaga dan melihat laut tenang tak bergelombang. Seperti rambutnya yang bau udara garam, seperti rambutnya yang lusuh lurus tak bergelombang.

    Lelaki penata lampu mendekat ke bibir dermaga. Di balik gumpalan ombak malam yang landai tenang, seekor duyung berkelamin perempuan menahan nafasnya. Lelaki penata lampu. Lelaki penata lampu... Dialah lelaki yang telah menyelematkannya dua malam lalu...

    Ada sepi yang meyeret gerak lengan si putri duyung, membawanya mendekat ke arah dermaga. Ada perih yang menyeret langkah si penata lampu, membawanya mendekat ke arah putri duyung. Ada sunyi di hati mereka berdua. Sunyi yang menunggu untuk digemuruhkan suasana. Sunyi yang menanti terisi gemuruh rindu sebelum keduanya harus berpisah kembali. Putri Duyung dan lelaki penata lampu...

    (hiks, ini pasti akan menjadi cerpen yang sedih... )

Post Title

Putri Duyung & PEnata Lampu


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2007/09/putri-duyung-penata-lampu.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls

Apa Yang Kau Tulis Wahai Penulis





    Ini curhat colongan. Atau suka-suka lah, sebut apa saja terserah. Yang jelas, saya nggak mau bergosip apalagi menebar rumor. Meski tentu saja saya amat mengerti, di Jakarta sini tipis banget beda antara gosip dengan opini, infotainment dengan hard news, fakta dengan fiksi. Dan dalam kaitannya dengan itu semua, curhat colongan ini tentu saja berkutat sekitar hal yang saya geluti; penulisan fiksi. Itu pun bila ada yang mengenal saya sebagai penulis fiksi.

    Di antara ratusan penulis baru yang belakangan banyak muncul dan amat banyak pula yang berbakat, siapa sih memangnya saya ini? Hiks. Maka bila ada satu saja dari pembaca kolom
    Pendapat
    ini yang pernah membaca tulisan saya, rasanya saya amat bersyukur.

    Hanya saja yang jelas, saya—penulis fiksi tak dikenal ini—adalah seorang perempuan. Saya memiliki ide, dan sebagaimana juga manusia lainnya saya mempunyai benjolan di bagian paling atas badan; kepala, orang menyebutnya demikian. Di dalamnya, bersarang seluruh pusat mekanisme kerja nalar.

    Ya, saya perempuan dan selain kepala saya juga memiliki tubuh. Di atasnya terpapar sebuah bidang antara kepala dan perut. Di dalam bidang yang biasa disebut dada tersebut, berlindung sekeping hati. Muara segala rasa. Tempat saya bisa merasakan dan menanak emosi.

    So, saya perempuan dan kebetulan saya menulis. Dengan hati dan kepala, saya mencoba merangkai cerita. Membuat sebuah dunia. Tentunya saya menulis apa saja yang ingin saya tulis. Segala hal. Tentang pagi yang tak berbau, tentang mahluk-mahluk dari luar angkasa, kisah-kisah cinta, tentang seorang lelaki yang mengaku berayah angin, tentang perempuan kecil yang menyedot kedua orangtuanya ke dalam Vacuum Cleaner. Saya hepi, semoga pembaca di luar sana juga senang. Dan saya berharap setidaknya beberapa orang bisa menikmatinya, tapi beberapa orang juga ternyata terusik.

    Saya penulis bergender perempuan dan belakangan banyak menulis tentang relasi homoseksual; hubungan-hubungan sesama jenis; lelaki dan lelaki; perempuan dengan perempuan; gay dan lesbian; transvestite dan biseksual. Dan pertanyaan itu mulai harus saya hadapi saat saya bertemu dengan hampir rata-rata semua orang yang pernah membaca tulisan—terutama cerita-cerita pendek saya.

    Ucu, lo lesbian ya?
    itulah pertanyaannya.

    Tentu nggak mau dong, saya tertawa tak santun atau tergelak tak sopan sambil menjawab pertanyaanya. Sejauh ini, jawaban jitu saya selalu cuma satu: “Aduh, kayaknya enak juga tuh kalau bisa jadi lesbian. “ Hehehe. Begitulah.

    Mendapati jawaban yang diberikan, tentunya respon orang beragam. Ada yang meminta maaf dan jadi nggak enak, ada yang pura-pura lupa pernah nanya hal itu dan kemudian sama sekali nggak menyinggungnya lagi dalam obrolan kami seterusnya, namun tentu saja ada juga yang terus ngorek-ngorek dan berusaha mencecar saya—mengemukakan teori ini itu untuk membuat saya mau menjawab apa yang mau mereka dengar.

    Sayangnya saya tak pernah berminat menjadi Thomas Alva Edison, tuh. Saya juga kebetulan nggak pernah bekerja di Departemen Penerangan yang memang sudah ditutup sejak masa pemerintahan Gus Dur, hingga saya berpendapat nggak harus memberi jejak terang apapun lagi selain jawaban yang silahkan diartikan sendiri saja seperti jawaban yang biasa saya berikan di atas.

    Kalau mereka mau menganggap saya lesbian, ya sudah. Anggaplah demikian. Saya nggak ambil perduli. Lagi pula siapa yang bisa mengendalikan pikiran? Dan kalaupun saya memang seorang lesbian, so what?

    Hanya saja jangan salahkan saya kalau sejujurnya saya merasa ajaib dengan orang-orang yang punya pemikiran demikian.

    C’mon…! Haruskah Agatha Cristie membunuh beberapa orang untuk bisa menulis kisah-kisah yang tertisik dalam puluhan novel misteri pembunuhan yang telah dibikinnya? Apakah Mitch Albom mati terlebih dahulu hingga ia bisa menulis dengan sangat bagus kehidupan pascakematian Eddy si penjaga pasar malam dalam Five People You Meet in Heaven Kapankah Michael Cuningham bertemu Virginia Woolf hingga ia bisa menuliskan kisah 3 perempuan beda zaman dalam novelnya yang meraih penghargaan Pulitzer The Hours Atau haruskah Ayu Utami benar-benar menjalani hubungan selingkuh dengan pria beristri saat ia menulis dengan demikian memikat relasi gadis kota lugu Laila dengan si penambang pemberontak Sihar dalam novel Saman?

    Lalu dimanakah peran imajinasi? Pada porsi macam apakah kecerdasan si penulis diperlukan? Apakah yang kau tulis, wahai penulis?

    Tulislah apa yang kau tahu, demikian seorang seorang tutor memberi tips dalam sebuah workshop penulisan.
    Tantangan terbesarku adalah aku harus bisa ngehidupin si karakter yang aku tulis dalam buku biografinya
    , ucap Alberthiene Endah, novelis dan penulis beberapa buku biografi pada suatu sore di apartemennya, saat ia membuka-buka kembali buku biografi almarhum Chrisye yang baru saja ditulisnya. Dan ketika Leonard Woolf bertanya
    Mengapa seseorang harus mati dalam novelmu?
    kepada istrinya Virginia Woolf, penulis perempuan itu dengan enteng menjawab
    Seseorang harus mati agar kita semua bisa lebih menghargai hidup
    . Beberapa tahun setelahnya, Virginia memang benar-benar mati seperti karakter-karakter yang ditulisnya. Bukan karena penyakit, tapi dengan cara bunuh diri di tahun 1941.

    Itukah yang ditulis para penulis? Itukah dunia yang dibagi kepada kita dari penulis feminis Virginia Woolf dalam karya-karyanya seperti Orlando, To The Lighthouse, A Room Of One’s Own, The Waves atau dalam Mrs. Dalloway? Cara pandang yang suram terhadap kehidupan untuk membuat manusia lebih menghargai hidup? Yang ironisnya, di akhir semua proses itu Viriginia justru secara ekstrim seolah ingin menyampaikan pesan bahwa hidup baginya memang begitu suram dan membuatnya tak bisa menghargainya lagi hingga ia membuat keputusan ekstrim untuk berhenti menjalaninya.

    Untuk kasus salah satu penulis idola saya di atas, sebagai pembaca, saya bisa mendengar jeritan Virginia Woolf di hampir seluruh koridor teks dan plot dalam novel-novel yang ditulisnya. Jeritan yang memantul dalam teks dan menggemakan pertanyaan-pertanyaan khas milik penulisnya: Apakah itu definisi menjadi perempuan? Bagaimana sebenarnya makna kesenangan-kesenangan sederhana dalam hidup? Dapatkah momen-momen luar biasa menjadi penawar penantian panjang yang membosankan dan menakutkan sepanjang ribuan jam penantian menjelang ajal dan kematian?

    Hhh… (menghela nafas panjang dulu ya).

    Membaca karya orang, melihat biografi-biografi penulis besar, mencermati cara hidup beberapa penulis sini (Indonesia-red) yang saya tahu tapi tak saya kenal, ataupun beberapa penulis yang menjadi teman, membuat saya percaya bahwa menulis adalah proses menyalin kehidupan. Kehidupan yang dijalani si penulis dengan seluruh kapasitas latar belakang dan pemahaman serta pengetahuan yang dia rakit dan dia pungut dari berbagai sudut; Pengalaman batinnya sendiri; Kisah orang-orang; Relasi sosial dengan lingkungan; Imajinasi dan fantasi; Film yang ia tonton; Buku yang ia baca; Lagu yang ia dengar; Mitos-mitos besar yang ia tahu; Berita-rumor-gosip yang beredar, dll.

    Melihat itu semua dan setelah mencoba menjadi salah satu praktisi di dalamnya, saya jadi tahu bahwa menulis (dalam hal ini fiksi), adalah sebuah proses menyalin kehidupan yang diramu dengan kepiawaian menggunakan bahasa dalam pilihan diksi dan aneka metafor yang disemai di aneka sudut paragrap untuk kemudian dibingkai sebagai dunia rekaan: fiksasi. Cara bertuturnya bisa beragam, tema yang dituturkan juga sebanyak benda-benda di dunia—bisa sangat beraneka. Hanya saja hasil dari proses penyalinan itu kemudian bermetamorfosa menjadi suatu kehidupan yang lain lagi. Sebuah dunia hasil olahan seorang penulis yang bahan-bahannya bisa ia ramu dari mana saja dan tidak melulu dari pengalamannya. Sebuah dunia rekayasa yang kelak menjadi bahan bacaan orang-orang. Orang-orang yang akan terinspirasi, orang-orang yang akan mempertanyakan, orang-orang yang akan lupa. Para pembaca.

    So, ketika puluhan tahun silam Roland Barthes dalam esay-nya yang masyhur The Death of Author telah jelas-jelas menyatakan kalau penulis mati saat karyanya telah berada di tangan pembaca, maka pertanyaan saya sekarang kepada para pembaca, masih relevan-kah hari gini mempertanyakan, apa yang kau tulis, wahai penulis??***

Post Title

Apa Yang Kau Tulis Wahai Penulis


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2007/09/apa-yang-kau-tulis-wahai-penulis.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls
Cpx24.com CPM Program

Popular Posts

My Blog List

Blog Archive

Total Pageviews