Powered by Blogger.

Ketika Berondongs Ngomong Aborsi




    Percakapan ini cukup mengusik.

    Artha: Gue sih, masih agak gimana yah dengan aborsi.

    Jason: Emangnya kenapa?

    Artha: Ya dosa ajah. Dosa nggak kelihatan siyh, tapi kan gugurin kandungan gitu loh! (membenarkan letak kacamatanya)

    Jason: Emangnya kenapa? (memandang tanpa dosa)

    Artha: Itu kan ada orang idup di dalam perut.

    Jason: (kali ini dia yang benerin letak kacamata) kalau gue sih, seperti kata Soe hok Gie ajah. Orang yang paling beruntung adalah mereka yang nggak pernah dilahirkan. Bagus dong ibunya. Kan nyelamatin anaknya! Dari pada idup, terus tuh anak nggak beruntung?

    *Gubraks!
    Serta merta gue melirik.
    Percakapan singkat itu amat menarik.


    Ucu: Oh my god! Jason!

    Jason menatap gue balik. Pandangan matanya bertanya, ada apa?

    Ucu: Ay lav yu Jason!

    Dan gue pun mengacungkan dua jempol sambil tertawa bahagia. Di antara workhsop yang seneneg-seneng tapi capek juga, fresh aja gue ngedenger percakapan tuh dua anak SMA. Two thumb up buat cara berpikirnya! Nalar-nalar argumentasi anak muda memang kadang tak terpikirkan oleh orang dewasa. Dan quote Soe Hok Gie yang dikutip si Jason tadi?

    Tentang aborsi, setiap orang punya cara pandang. Hak masing-masing. Terserah ajah. Hanya saja tadi waktu dua berondong itu berbincang tentang aborsi, gue ngerasa disundut oleh kebenaran.

    Kebenaran bisa datang dari siapa saja. Diucapkan ulang entah oleh siapa saja. Di mana ajah. Lagi-lagi itu sah-sah saja. Dan Jason dengan quote temuannya yang dia comot entah dari buku Soe Hok Gie yang mana, terus terang kayak nawarin gue semacam cara pandang waktu gue muda dulu dan sekarang udah agak gue lupakan. Quote yang dicomot sembarang and bikin tombol ’refresh’ di kepala gue menyala terang.

    Ya, ya, yah...
    Orang yang beruntung adalah mereka yang tak pernah dilahirkan..




    *Silahkan berargumentasi sendiri kalau nggak setuju dengan quote-nya, yah. Hehehe)

Post Title

Ketika Berondongs Ngomong Aborsi


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2008/07/ketika-berondongs-ngomong-aborsi.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls

Mari Bercinta…. Di Kuburan!* (catatan Gn.Bolo#1)




    “Datanglah ke Gunung Bolo! Maka sensasi bercinta di kuburan dengan beralas koran berdamping nisan dan beratap langit dengan taburan bintang akan Anda rasakan. Rasa bercintanya, bukan cuma ndak karuan, tapi pasti bikin ketagihan sebab rasanya nikmat tenan. Hahahaha” Demikian promosi Udin a.k.a Benny a.k.a Gerandong sambil tertawa ketika saya memintanya untuk mempromosikan tempat prostitusi liar Gunung Bolo yang menjadi ’pegangan’ nya.

    Berjarak 214 kilometer dari Surabaya, ke arah barat Tulungagung di desa Bolo kecamatan Kauman, di sanalah bukit tersebut berdiri. Sebuah kompleks pemakaman Cina yang dikelola secara turun temurun oleh sebuah perkumpulan komunitas Cina di Tulungagung yang menamai dirinya ”Perkumpulan Rukun Sejati.”

    Kalau di pemakaman cina ada kuburan cina, tentu saja itu sudah nggak aneh lagi. Tapi yang menakjubkan bagi saya dari pemakaman cina di gunung bolo tersebut adalah sebuah kenyataan bahwa sejak tahun 1993, di pemakaman tersebut telah marak dengan prostitusi liar. Udin atau yang kerap disebut gerandong oleh rekan-rekannya adalah satu dari lima preman yang bertugas untuk mengamankan area lokalisasai tak resmi alias protitusi liar atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah Non-Lok Gunung Bolo.

    Tak kurang dari 160-an orang perempuan menjadi WPS (wanita penjaja seks) di area non-lok Gunung Bolo tersebut. Itu yang terdata. ”Setiap hari yang beroperasi di sini antara 50 sampai 75 orang WPS. Kalau Week end, bisa keluar semuanya atau bahkan bisa sekitar 200-an orang. Tapi paling rame kalau lagi bulan puasa,” demikian terang Udin. Dan saya pun jadi melongo, lho kok bisa?.

    ”Tumpahan Mbak. Bulan puasa kan, Dolly di Surabaya tutup. Ngunut sama Ngujen (dua area prostitusi liar di Tulungagung) juga tutup. Jadi ya pada ke sini. Kalau bulan puasa, bisa mencapai 350an orang WPS beroperasi di sini.”

    Meski sebenarnya pengen mendelik sambil teriak ”WOUW!” saat mendengar keterangan itu, yang saya lakukan akhirnya cuma manggut-manggut.

    Masuk akal banget! Masuk akal banget! Hhhhm... jadi ketika pada bulan puasa lokalisasi resmi ditutup karena aturan pemerintah untuk memuliakan bulan ibadah, di tempat-tempat pelacuran liar seperti di kuburan Gn. Bolo inilah, para WPS tersebut mencari jatah THR untuk dibawa pulang mudik di kampung halaman? OMG! Saya ingin menangis antara terharu dan juga sedih mendengar cerita tentang nasib para perempuan yang tak begitu beruntung hingga terpaksa harus mencari nafkah dengan jualan diri tersebut. (saya tahu, dunia memang tak adil, tuan! :(

    Menurut keterangan Yasin dan Hengky, dua rekan dari LSM CESMID (lembaga yang bergerak di pendampingan untuk kesehatan para WPS) yang menemani saya ke Gn. Bolo waktu itu, malam minggu di Gn. Bolo adalah malam minggu yang ramai. Jalanan aspal sepanjang 30 meter dengan lebar dua meteran yang menjadi jalan masuk ke kompleks pemakaman Cina Gn. Bolo kerap macet oleh banyaknya motor, ojek dan bahkan mobil yang merupakan alat transportasi yang dipakai oleh para pelanggan atau pengunjung prostitusi liar Gn. Bolo tersebut. Tapi eits! Jangan salah sangka dulu.

    Tidak semua yang datang ke Protitusi liar Gn. Bolo menjadi konsumen dari para WPS yang ada di sana, sebagian dari mereka kadang datang hanya untuk iseng mengintip orang yang sedang bercinta di kuburan, sebagian dari mereka ada yang datang jauh-jauh buat pacaran, dan sebagian lagi ada yang datang dengan niat jahat. Mencuri barang berharga dari pengunjung yang kebetulan telah lena saat sedang asik ’gituan’ di atas kuburan.

    ”Yang curi HP banyak Mbak! Juga yang coba-coba mau nyopet dompet. Nah, itulah tugas saya dan 4 orang rekan lainnya. Mengamankan area non-lok Gn. Bolo dari tangan-tangan jahil.” Udin kembali terkekeh saat menerangkan tugasnya. Saya mengerjapkan mata sambil tersenyum menanggapinya.

    Apakah kejadian buruk yang sering dialami para pelanggan dan kerap terjadi di Non-lok Gunung Bolo selain kehilangan HP atau tindak kriminal oknum luar? Menurut Udin, yang sering terjadi adalah lutut lecet atau sedikit cedera karena tergores batu granit yang menjadi lantai dasar rata-rata kuburan. Hal itu terjadi ketika pelanggan lagi ”goyang” dan mereka nggak sadar. ”Tahu-tahu udah baretan ajah,” Ucapnya. Untuk kenyamanan, Udin pun menyarankan supaya pelanggan membeli koran yang tersedia di warung-warung kopi dadakan yang muncul setiap senja di kuburan. Warung yang Cuma terdiri dari meja dan minuman serta makanan yang ditata sekedarnya. Dengan Rp. 500,- empat lembar koran bisa dijadikan alas di atas kuburan dan dijamin akan membuat pengalaman bercinta di atas kuburan semakin mengesankan. Lagi-lagi Udin berpromosi.

    Ya, setiap WPS memang memiliki kavling sendiri-sendiri di Non-lok Gunung Bolo. Kuburan-kuburan yang secara tidak langsung telah mereka klaim sebagai ’kamar’ tempat transaksi seks dilangsungkan.

    Tarif WPS di Non-Lok Gunung Bolo memang relatif terjangkau. Kisaran harga antara Rp.10.000 sampai dengan Rp. 25.000,- saja. Fakta ekonomi yang lagi-lagi cukup meneror saya. Oalah... murah tenan, tuhan... Tak ada germo atau Mucikari. Mereka semua WPS freelance alias langsung cari pelanggan sendiri, atau tentu saja sebaliknya, pelanggan bisa langsung datang mencari entah janjian by SMS sebelumnya atau langsung ketemu di Non-lokalisasi, bertransaksi and then everybodi happy.

    Bagi para pengunjung yang malu-malu tapi mau atau bagi WPS yang segan mencari pelanggan sendiri, biasanya beberapa ’kiwir’ siap menberikan jasa layanan. Kiwir adalah istilah untuk lelaki yang menjadi pasangan tetap para WPS tapi juga bekerja untuk mereka alias mencarikan pelanggan untuk para WPS pasangannya. Sebuah kenyataan yang lagi-lagi, oalah.... bikin saya berasa kayak di scene layar lebar. Kehidupan pahit itu, ternyata benar-benar terjadi di layar kehidupan!

    Ohya. usia WPS yang beroperasi di Gn. Bolo rata-rata di atas 25 tahun. Antara 27 sampai dengan 50an. Ada juga sih sebenarnya yang masih muda. Ada sembilan orang WPS yang berusia antara 19 sampai 24. ”Tak boleh ada yang benar-benar idola. Sengaja dibuat begitu,” ujar Udin. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga market share dari tiap WPS dan supaya tidak menimbulkan kecemburuan sosial yang bisa berakibat fatal. Biasalah... persaingan bisa memicu banyak hal.

    Sumilah, salah satu WPS asal Pulosari yang sore itu saya temui berdandan ala mbak-mbak fungky, mengaku kalau tiap hari ia bisa melayani 8 sampai 10 orang pelanggan. ”Tapi malam ini semoga semua kondom ini habis. Hihihi.” Sumilah tertawa sambil memasukkan 6 strip kondom sutra yang dibagikan Yasin dan Hengki untuk para WPS di Gn. Bolo. Hhhmmm... bila tiap strip berisi 3 kondom dan Sumilah membawa 6 strip, jadi dalam semalam Sumilah bisa melayani.... OMG! Bisa sampai berapa tahun lagi Sumilah bertahan bila ia harus melakukan begitu banyak ”bisnis ngangkang”?. Semoga Sumilah tetap sehat dan baik-baik saja, bisik saya dalam hati.

    Karena prostitusi liar atau non-lok Gn. Bolo beroperasi pada malam hari dan kegelapan alami menjadi salah satu aset promosi yang menjadi kelebihan prostitusi liar Gn. Bolo, maka menghitung dengan mata telanjang jumlah pengunjung non-lok adalah hal yang muskil, tapi bukan berarti tidak mungkin. Kalau kita beneran iseng mau tahu jumlah lelaki yang datang, cukup tengok saja berapa banyak motor yang terparkir di bedeng-bedeng parkiran. Atau lihat sebentar aktifitas petugas parkir. Nah, bila petugas parkir kelihatan sibuk, jelas sudah kalau non lok tersebut pada malam itu sedang dibanjiri pengunjung.

    Diterangi lampu bohlam yang berpencahayaan kurang, di area bawah yang terletak di samping pintu gerbang pemakaman Gn.Bolo memang terdapat 4 tempat parkir motor berupa bangunan bedeng berangkai bambu yang masing-masing bisa menampung sekitar 160-an motor. Dan bila Anda memang beneran ingin mengakurasi klaim Udin tentang jumlah pengunjung di Non-lok Gunung Bolo, tinggal kalikan saja. 160motor x 4 tempat parkiran.

    Dan Yup! Sebanyak itulah kapasitas tampung pengunjung lelakinya. Sebuah kompleks makam yang menjadi tempat prostitusi liar fenomenal yang saya temukan di Tulunagung dan membuat saya tercengang. ***

Post Title

Mari Bercinta…. Di Kuburan!* (catatan Gn.Bolo#1)


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2008/07/mari-bercinta-di-kuburan-catatan.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls

Naik Kereta Api... Tut, Tut, Tut...




    Segala hal berjalan tak rasional di kereta itu. Matarmaja, tujuan Jakarta-Malang via Tulungagung. Kelas ekonomi.

    Kelas Eksekutif dan Bisnis? NO TICKET! Ludes. Itu pun dengan harga yang melambung dua kali lipat di tangan para calo Kereta api yang banyak bergentayangan di Gambir. Niat mau naik Gajayana Eksekutif dengan harga tiket resmi 240ribu, yang ada harga melonjak jadi 450ribu.
    Nggak bisa 350 aja?
    saya berusaha nawar. Si Bapak tambun tipikal calo yang sering kita lihat di terminal dan stasiun menggeleng.
    Mbak dah liat sendiri, di ticketing dah abis sampai tanggal 12 juli, kan?. Nah, ini kita usahain... ya biaya-nya dua kali lipatnya lah. Wajar kan? Masa segitu ajah masih nawar?!
    .

    Sial!

    Mau naik pesawat? Kalo ada harga yang 500rb sih mau ajah, tapi hiks, high session, segala harga transportasi naik melambung, orang-orang pada liburan, tiket-tiket perjalanan telah habis sampai sepuluh hari mendatang dan parahnya kantong saya lagi cekak. Budget yang saya punya untuk riset kecil kali ini plus akomodasi dan transportasi serta meal, tak lebih dari 1,2juta ajah. Yah, namanya juga riset atas biaya sendiri. Saya nggak mau ah, ngeluarin biaya banyak-banyak. Ahahaha. Jadi.... Go ucu! Go!

    Maka berangkatlah saya ke Senen stasiun, tak ada pilihan lain. Saya harus pergi ke Tulungagung dan waktu yang saya miliki sesempit liang jarum yang saya saja kadang nggak bisa melihatnya dalam sekali tatapan.
    Selalu ada hal menarik yang bisa kita pelajari dari sesuatu yang belum pernah kita lakukan,
    begitu hibur hati saya menguatkan. Dan di Senen, tiket kereta api Matarmaja memang tersedia, harganya cuma 50rebu, 9 kali lebih hemat dari harga tiket di tangan calo di Gambir. Jadwal keberangkatan lebih dulu dua jam, adapun jadwal waktu sampai di tempat tujuan, sama persis dengan jadwal kereta eksekutif Gajayana. Jam7pagi. Bisakah hal itu benar-benar terjadi? Lets’s see....

    Ini perjalanan pertama saya naik kereta api sendirian. Tentu saja selain pesawat dan bus, saya juga pernah bepergian naik kereta api sebelumnya, hanya saja tak pernah sendiri, terlebih naik kereta ekonomi begini. Tenang... pasti ada hal menarik yang belum pernah kamu lihat, begitu terus ucap saya buat menenangkan diri. Dan...

    Eng ing Eng....
    Selasa, jam 14.00 tanggal 1 Juli, dibantu seorang bapak yang mencarikan saya nomor gerbong dan tempat duduk, perjalanan itupun dimulailah. Kereta tua yang rapuh, dengan besi berkarat dan kaca yang sebagiannya retak-retak.

    Kereta itu begitu sesak. Ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, pak de, oom, tante, mbak-mbak, nenek, opung, bu de, pedagang, pengemis, serta kardus-kardus dan aneka tas berjejalan saling berbagi ruang. Panas. Pengap. Bau keringat. Sebuah kondisi yang bisa membuat tombol kesabaran mampu meledak kapan saja. Mana kereta jalannya kayak cacing pita lagi. Halah! (Kayak pernah lihat cacing pita ajah). Dan di suasana kayak begitu, saya pikir yang bisa saya lakukan cuma... Coba nikmati saja.... kalau saya bisa melewati perjalanan ini dengan hepi, maka saya pasti bisa melewati perjalanan lain dengan hepi pula. Yup! Sepertinya ini perjalanan terberat pertama saya. Permasalahan serius dengan alat transportasi yang menjadi kendara bepergian kali ini.

    Belum lama saya membuat pikiran untuk menstimulasi supaya saya bisa terus berpikir bahagia, pada hitungan 15 menit ketika kereta ekonomi itu melaju, gerombolan itu pun datanglah. Sekelompok orang, lelaki dan perempuan, bawa gitar sambil nyanyian, suara mereka keras, lagunya nggak bagus
    Sepanjang jalan kenangan
    versi sember, diikuti 3 lelaki pembawa kantong yang menadah ke tiap penumpang. Mereka maksa minta duit dengan cara hampir nodong. Body tiga orang pemalak itu lebih mirip begal daripada seniman, rambutnya gondrong dan bau badannya kecut (saya cium saat mereka badan mereka begitu dekat dengan hidung saya waktu mereka ngompas teman sebangku di sebalah saya), tentu saja mereka minta duit dengan cara membentak. Yaelah.... uang seribu rupiah pun terpaksa saya keluarkan dengan tak rela. Di kursi seberang, saya melihat seorang ibu bergelang emas, yang awalnya marah-marah terpaksa buka tasnya dengan wajah ketekuk setelah pengamen gadungan itu membentak,
    Dari pada ta’ copot itu kau punya emas!


    *Gubraks! Harus saya akui, peristiwa itu cukup meneror saya.

    Tapi beberapa waktu kemudian saya melihat hal lain yang mungkin memang cuma terjadi di kereta ekonomi saja. Orang-orang, para penumpang yang sebelumnya tak saling kenal itu maksudnya, perlahan tapi pasti seperti membuat sebuah pertemanan yang berjalan dengan amat alami. Bermula dari percakapan berbahasa jawa yang tak saya mengerti detailnya tapi bisa saya tangkap maksudnya, saya melihat hal yang sangat Indonesia banget. Mengharukan dan tampaknya memiliki sesuatu yang mengingatkan saya pada kata Gotong royong alias saling bantu.

    Yang punya kursi berbagi dan bergantian berdiri dengan penumpang yang nggak punya tiket dan telah berjam-jamn berdiri. Yang punya tiket, per dua atau tiga jam sekali, gantian duduk berceceran atau tiduran di lorong sepanjang gerbong dengan tampang tak terpaksa. Mereka terlihat cuek dan asik ngobrol sambil saling berkenalan dengan para penumpang lainnya. Ada yang kemudian menjadi begitu akrab karena ternyata mereka sama-sama berasal dari Blitar, ada yang kemudian tertawa ngakak karena mereka ternyata tetanggaan. Dan para pedagang, meski mereka ngerti kalau mereka sedang mencari rejeki, tapi sepertinya mereka juga tahu diri (atau memang udah tahu kondisi, secara mereka dagang di situ tiap hari). Menawarkan dagangan dengan kaki yang menyelisir pelan, mempertimbangkan para penumpang yang berserakan di sepanjang lorong gerbong. Berbagi ruang dalam kesempitan.

    Melihat banyak peristiwa yang terjadi dan beberapa di antaranya baru pertama kali saya alami, begitu saja saya teringat seorang teman. Fotografer yang memiliki banyak rencana untuk membuat esei bergambar. ”Sepertinya menarik juga membuat esei foto tentang melihat indonesia dari kereta. Hmmm...” begitu tulis saya di SMS yang saya kirim buat dia.

    Ah entahlah. Menarik atau tidak, saya akhirnya cuma bisa bernafas lega karena si kereta tak berjalan selelet yang saya prediksikan. Tengah malam di dalam gerbong, saya melihat tubuh orang-orang yang tidur dengan posisi beragam. Dari manis terpaku di tempat duduk, bergeletakan di bawah kolong, sampai nungging di ujung kardus. Sebuah pemandangan yang bikin saya senyum-senyum terharu. Dan pagi harinya, saya melihat sunrise ayang bulat bundar, rumah-rumah serta sawah dan ladang yang berkelabat saling susul dan berlarian. Ada sesuatu yang datang dan ada yang pergi serta ditinggalkan di belakang. Kereta saya ternyata sampai di Tulungagung lebih cepat setengah jam dari jadwal.*

Post Title

Naik Kereta Api... Tut, Tut, Tut...


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2008/07/naik-kereta-api-tut-tut-tut.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls
Cpx24.com CPM Program

Popular Posts

My Blog List

Blog Archive

Total Pageviews