Powered by Blogger.

Mengapa Menulis CerPen?

    Seorang teman dari sriti.com, sebuah situs sastra korancyber mewawancarai saya secara tertulis. Rasanya lucu juga membaginya di sini...

    1)Mengapa Ucu menulis cerpen?

    Awalnya mungkin tidak mau membedakan antara yang cerita pendek atau yang cerita panjang. Karena pada prinsipnya, saya suka akan cerita. Apa saja. Cerita yang didengar, dilihat atau dibaca. Pendek atau panjang. Bentuknya bisa macam-macam: dongeng (lisan ataupun tutur/radio—ada tukang dongeng radio favorit saya waktu kecil; Mang Dina. Siaran di sebuah stasiun radio di sukabumi), cerita fiksi, atau cerita tentang sesuatu dari dunia yang wadag ini; Perjuangan, penderitaan, kemiskinan, kebahagiaan. Pergulatan pemikiran seseorang, termasuk salah satu cerita yang juga saya sangat senangi. Juga memoar atau autobiografi. Dari sana saya bisa mengerti mengapa seseorang, misalnya karl marx tidak pernah meminati agama dan lebih tertarik pada teori kelas. Ayahnya yang seorang pengacara Yahudi, pindah agama Kristen protestan dengan mudah hanya untuk menjadi pegawai negeri, tepatnya notaris di Prussia, yang beraliran protestan. Wajar saja misalnya jika karena proses pengalamannya tersebut Marx kemudian berpendapat bahwa ekonomi menentukan politik dan pemikiran manusia. Ekonomi ditentukan oleh pertentangan kelas pekerja (ploretar) dan kelas pemilik (borjuis). Ya gitu deh, sebuah pandangan yang kemudian kita kenal sebagai “pandangan sejarah yang materialistic”.

    Membaca pemikiran orang, menurut saya membuat saya jadi turut berpikir. Setelah berpikir, sering sekali saya menemukan konflik dalam pemikiran saya sendiri. Kepala jadi dipenuhi pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang saling bertentangan. Pertanyaan yang kadang dilontarkan, kadang diperam saja di pikiran. Kadang dapat jawaban, kadang meruap ke dunia entah. Hilang dengan sendirinya.

    Nah dari sanalah, saya tertarik untuk mulai menulis. Tentunya ketika masih di Pesantren saya telah mulai menulis (saya waktu itu juga memang telah menyenangi dunia tulis menulis dan menjadi ketua bidang jurnalistik. Madrasah Aliyah kelas 2, tepatnya), tapi itu lebih karena tuntutan Mading sekolah harus diganti per dua minggu. Namun saat saya telah memasuki bangku kuliah dan boleh membaca apa saja (di pesantren bacaan disensor. Ada buku-buku dan majalah tertentu yang harus dibaca, ada yang “haram” dibaca. Musik tidak boleh masuk, kecuali yang islami. Nonton TV hanya seminggu sekali pada hari Jumat, itupun terbatas waktunya dan dipilhkan salurannya oleh pengurus. Kami menonton TV di aula besar yang biasa dipakai buat tempat sholat berjamaah).

    Nah, ketika saya diperbolehkan untuk melihat apa saja yang saya mau lihat. Apa saja yang mau saya baca. Apa saja yang saya mau dengar. saya mempergunakan kesempatan tersebut. Dibutuhkan banyak bahan untuk menulis. Maka dimulailah pergaulan itu. Saya belajar bicara. Saya mendengar orang bicara. Saya melihat buku bercerita. Saya melihat kejadian-kejadian saling bercakap dalam diam. Saya melihat wacana-wacana bergerak. Dan saya mulai menulis. Awalnya tentu saja tulisan di diary…

    Menulis Diary, sebenarnya adalah kebiasaan yang terbawa sejak dari Darunnajah (nama pesantren saya). Seorang teman, memberi saya hadiah ulang tahun dan mulailah saya menulisinya. Saya mulai menulis puisi. Waktu itu nyontek aja. (Bentuknya dan struktur puisi yang saya bikin, nyontek dari bentuk puisi penyair Tardji, misalnya. Atau dari lagu komposisi syair lagu KLA project, gitu…). Isinya dari apa yang saya lihat, alami dan terjadi. Dimuat di Mading, kadang Cuma ngendon di Diary. Kebiasaan itu berlanjut hingga kuliah.

    Tapi momen yang benar-benar membuat saya akhirnya tertarik untuk mulai menulis cerita adalah saat setelah saya membaca novel “La Nuit Sacree” karya seorang penulis Perancis kelahiran Marokko Tahar Ben Jelloun. Tentu saja saya membacanya dalam terjemahan bahasa Indonesia; “Malam yang keramat”.

    Saya amat menyukai dan terinspirasi oleh inspirasi Jelloun. Cerita yang dia bikin amat memukau. Membuat saya seolah dituntun angin untuk menembus dinding berlapis antara dunia dongeng, kenyataan dan mimpi serta igauan. Rasanya aneh dan fantastis… keganjilan yang bikin ketagihan.

    Malam yang keramat bercerita tentang Zahra –yang dulunya bernama Ahmed—, seorang anak perempuan yang harus didandani seperti laki-laki. Perannya sebagai ahli waris, keberadaan kewanitaannya setelah kematian sang Ayah, perjalanan bebasnya ke sebuah desa asing yang hanya berpenduduk anak-anak, kesuciannya yang terrenggut di hutan oleh seorang lelaki tak berwajah dan ketakutannya pada hantu-hantu tak berbentuk. Sebuah kisah yang sampai sekarang, kalau membacanya kembali, saya selalu merasakannya sebagai pengalaman membaca yang baru.

    Tahar ben Jelloun, Surrealis dan Fantastis. Dua Cerpen pertama saya yang dipublikasikan di harian Sinar pagi pada bulan yang sama : “Wanita yang bersayap” dan “saya Percaya Saya Bisa terbang”, juga surrealis. Kalau tentang fantastisnya sih…, itu urusan orang yang membacanya saja. Bulan Maret tahun 1999, dua cerpen tersebut dimuat. Saya jadi lebih Pede.

    Sejak saat itu saya melihat sebuah peluang untuk mengatakan apapun yang ingin saya katakan (dari apa yang telah saya lihat atau dari hasil pemikiran yang saya olah) melalui tulisan. Tapi di saat yang bersamaan, saya juga bisa bilang pada orang bahwa “itu kan Cuma fiksi!”. Hehehe, menulis fiksi atau cerita pendek ternyata begitu menyenangkan! Menyebar gagasan sembari bermain-main. Saya suka merekaya permainan. Saya senang bermain-main….
    Dan bila ditanya mengapa saya menulis cerpen? Jawaban saya ya masih tetap itu: saya ingin melanjutkan hobi saya bermain-main. Sastra atau bukan, nggak masalah. Yang penting terus sebar ide. Belakangan, saya menambahkan; terus sebar cerita! Saya ingin mendongeng sambil bermain-main (dengan ide).

    Kenapa tidak menulis novel?
    Kalau pertanyaan itu yang dilontarkan, saya Cuma bisa jawab; Pengen banget nulis novel. Tapi ibarat mau membuat masakan, saya harus masih belanja ide dulu yang banyak. Saya merasa belum cukup banyak ide dan data di kantung belanjaan saya sekarang… Mau masak apa, dengan bahan yang terbatas? Padahal yang saya tahu cuma rasa asin dari garam dan bahwa masakan bisa lezat dengan penyedap (meski bikin radang otak!)


    2)Saat ini Ucu memilih 100% jadi penulis (tdk bekerja formal). Boleh diceritakan mengapa mengambil keputusan itu pada pembaca Sriti.

    Bila yang dibutuhkan seorang akuntan dan pialang adalah computer hitung canggih dan analisa pasar yang jitu, maka yang dibutuhkan seorang penulis adalah alat tulis dan waktu! Orang tak akan bisa menulis kalau tidak memiliki waktu yang cukup.

    Belakangan terjadi trend buku pesanan dari penerbit kepada penulis, di mana penerbit meminta seorang penulis untuk mengadaptasi sebuah naskah sinetron atau naskah film ke dalam sebuah novel, misalnya. Waktu yang disediakan oleh penerbit biasanya sangat terbatas. Cuma dua minggu, atau bahkan kalau tak salah dengar ada yang Cuma dikasih waktu 10 hari. Mereka disediakan kamar (entah di hotel atau di apartemen, tapi yangjelas diisolasi, supaya focus mengerjakan tulisannya). Saya nggak masalah sih, selama penulisnya mampu, ya hebat malah. Itu yang dinamakan menulis sebagai “craft” kerajinan atau keterampilan. Penulis bisa impulsive menggunakan waktunya sambil menunggu mood atau ilham datang dan lantas tulisannya menjadi begitu cemerlang atau tetap buruk, tapi penulis juga bisa memerintah moodnya untuk menulis di bawah tekanan “kejar tayang” deadline meski masalah kualitas tulisan entarlah diperdebatkan belakangan (atau justru karena dibawah tekanan, tulisannya menjadi “bersinar”?).

    Yang jelas, karena saya belum melihat penulis di Indonesia memiliki alat dari masa depan yang sangat canggih untuk bisa membantu memasak ide dengan sempurna. Sejauh ini saya tetap membedakan atau setidaknya (menurut saya), pasti ada beda antara memasak tempe bacem yang dibacem hanya sebentar di atas api yang dinyalakan dengan besar, dengan tempe bacem yang dibacem sesuai waktu yang dibutuhkan untuk proses pembaceman dengan api yang standar.

    Nah, balik lagi ke masalah pekerjaan. Kalau saya ditanya tentang kenapa tidak memilih kerja formal dan hanya meluangkan waktu untuk menulis?

    Dengan tersenyum saya selalu bilang kalau menulis adalah alasan saja biar dibilang ada kerjaan. Biar dibilang nggak pengangguran. Padahal sebenarnya, saya nggak ada kerjaan, karena itu saya menulis saja! Ya bisanya Cuma itu! (hahaha, artinya dengan menjadi penulis, saya tak pernah merasa tak punya kerjaan ;) Wuaa… si Paul bilang, pengangguran kreatif!).

    Tapi dibalik becandaan itu, saya selalu menyadari tentang peluang dan kesempatan bagi penulis. Nggak munafik dong, penulis juga butuh duit. Setidaknya pemasukan bulanan. Sayangnya banyak sekali penulis berbakat, hanya karena harus memenuhi tuntutan kebutuhannya, jadi tak memiliki waktu lagi untuk menulis. Waktunya lebih banyak tersita oleh pekerjaannya. Bakatnya lama-lama habis. Tangannya mulai tak biasa lagi mengukir kata, merangkai kalimat. Ini pernah saya rasakan, dulu. Dan karena itulah, saat ini saya menyadari betapa kegiatan menulis sebenarnya adalah kegiatan menyiasati waktu.

    Ketika tidak memiliki pekerjaan formal seperti saat sekarang (Sejak akhir januari 2005), saya sangat menyadari, betapa ironisnya pepatah “Waktu adalah uang”. Begitu telak pepatah itu bagi penulis. Bagi bisnisman mungkin iya, waktu adalah uang. Tapi bagi penulis adalah sebaliknya, semua penulis yang belum mapan, dihadapkan pada pilihan: waktu atau uang?

    Kalau penulis punya waktu untuk menulis, pada saat yang sama biasanya mereka tak punya uang. Kalau penulis punya uang, pada saat yang sama biasanya mereka tak punya waktu buat menulis. Dan ketika penulis telah punya waktu dan telah punya uang, biasanya energi menulisnya telah habis. Idenya sudah tidak segar. Mereka telah cukup tua. Ide-idenya tak lagi berkontigen dengan zaman yang terus bergulir… Basi! Jangan maujadi penulis basi… Setidaknya saya tak mau jadi penulis basi!

    Dan ujung-ujungnya saya jadi bingung. Haruskah seseorang kaya dulu baru bisa nulis? Ataukah seseorang justru harus miskin dulu baru bisa berkarya?

    Nah, karena pertanyaan itu muncul, maka saya harus menambahkan modal penting lain yang harus dimiliki penulis terlepas dari dia punya uang atau tidak. Dan dia memiliki waktu atau tidak: kemauan! Modal yang harus lebih dulu dipersiapkan sebelum waktu dan alat tulis. Di mana ada kemauan, selalu ada jalan! Saya percaya itu, seperti saya percaya kalimat Linda Christanti: “cinta itu seperti perjuangan. Tidak ada akan terhenti meski oleh kematian!” aih…. Hihihihi…

    3)Amatan Sriti, Ucu termasuk cerpenis yg pemalas saat sebelum buku KANAKAR terbit, mengapa bisa begitu? 4)Lalu setelah buku kumpulan KANAKAR terbit. kelihatannya sangat produktif. Apa ada alasan tertentu. Bisa dijelaskan?

    Ah nggak ah… saya terus nulis kok. Masalahnya, saya suka mati di tengah dan kadang ide menjauh dari saya pada setengah jalan menuju akhir kisah dari sebuah cerita. Waktu juga jerap tak mendukung. Kebetulan… waktu itu terjadi, saya memang masih bekerja formal. Harus saya akui, saya tipe orang yang tidak bisa terlalu banyak membagi konsentrasi pada beberapa hal yang berbeda.

    Sejak Februari saya baru benar-benar bebas dari rutinitas. Sialnya, uang saya masih cukup lumayan di tabungan, jadi saya jalan-jalan dan nyampah-nyampah sama teman-teman. Bulan April, KANAKAR terbit. Pada saat yang bersamaan, “Dokumen Jibril” salah satu cerpen saya juga menjadi judul antologi cerpen republika. Saya seperti bercermin dari tulisan saya.

    Setelah menjadi format buku, ada beberapa cerita yang saya suka. Ada beberapa cerita yang saya malu kalau membacanya. Nah, karena itulah… saya pengen berusaha cepat-cepat menebus “rasa malu” saya. Ya, rasa malu itu memotivasi saya untuk terus menulis. Dengan harapan, hasil tulisannya kelak, akan lebih bagus dari yang sebelumnya. (tapi nanti, saya pasti malu lagi dengan apa yang telah saya tulis. Aih… kutukan melingkar berantai euy… ;p)


    5)apa setiap hari menulis cerpen? Apa satu cerpen bisa jadi dalam satu hari? Apa bisa jadi, beberapa cerpen jadi dalam satu hari?

    Pengennya setiap hari menulis cerpen! Tapi mana bisa… satu cerpen saja bisa terbengkalai berbulan-bulan! Tapi tak jarang ada cerpen yang jadi dalam 1,5 hari misalnya. Eit… nanti dulu! Maksudnya, proses membuatnya dan tiba-tiba alur cerita atau struktur cerita di dapat begitu saja ketika menulis. Tapi sesungguhnya, idenya telah dipikirkan sejak lama.

    Ide cerpen Vacuum Cleaner, misalnya. Berawal dari sebuah sore pada suatu week end di apartemen seorang teman. Teman ini telah bercerai. Anaknya yang masih berumur 8 tahun ikut ibunya. Tapi setiap week end anak tersebut, sebut saja dimas, selalu dihabiskannya dengan teman saya. Meski masih manja, saya melihat Dimas sangat mandiri. Setiap selesai bermain di ruang tivi apartemen papanya, dia selalu membereskan mainannya. Juga kalau ia membuat kotor ruangan.

    Suatu hari dia menggunting-gunting kertas, sepertinya akan membuat semacam origami, dan ruangan tengah apartemen papanya jadi berantakan. Saya menawarkan bantuan untuk membersihkannya. Tapi dengan tegas dia menolak. Dia bilang, “You just sit there, and let me clean it!” Dia memakai bahasa Inggris sebagai bahasa percakapan sehari-harinya. Ups, saya langsung menarik tangan saya dan cukup kaget dengan penolakannya. Di saat anak-anak seusia dia doyannya main-main dan bikin berantakan rumah orangtuanya tanpa pernah berhasrat mempelajari seni tanggung jawab sejak dini, si Dimas dengan penolakannya terhadap bantuan saya membuat dia sore itu jadi terasa lain.

    Saat itu Dimas mungkin melihat kekagetan saya. Dan sambil menarik-narik Tabung Vacuum Cleaner yang berukuran cukup besar, dia berkata lirih kepada saya, “I just like this Vacuum cleaner, a lot. You see…? It can make all things disapear!” Dan dia mengarahkan corong penghisap debu itu ke arah potongan kertas kecil-kecil. Kertas-kertas itu masuk ke dalam penampung debu. Berkerinyut saling berebut masuk di mulut corong penghisap debu untuk kemudian satu persatu menghilang ke dalam mesin pemghisap itu. “And the sound is nice too! I prefer heard this vacuum cleaner sound, then them!”. Otomatis saya langsung kaget mendengar komentarnya yang tak saya kira bisa keluar dari mulut Dimas sebelumnya. “ Them? Who?!” Tanya saya. Dan Dimas langsung mengarahkan dagunya kearah Papanya, teman saya. “He and my mother!”. Ucapnya sambil tertawa. Oh my god…!

    Maka dua minggu kemudian, saat saya sedang menonton acara kriminal di tivi bertema kekerasan rumah tangga, begitu saja saya menyalakan komputer. Dan cerita tentang anak yang memasukkan orangtuanya ke dalam vacuum cleaner itu pun kelar, sore esok harinya.

    Cerita-cerita pendek lain yang pengerjaannya Cuma memakan waktu antara 1-2 hari antara lain “Aku Ingin memenggal Kepala Ayah”, “Perawan Yang Bersemayam Di Mata Loth”. Beberapa cerita mini yang nggak pernah saya publikasi seumpama “Unicorn”, “Perempuan yang Bertemu Roh semalam”, “Dying Is Easy Commedy Is Hard!” adalah contoh-contoh cerita mini yang dikerjakan sekali jalan.


    6)Apa pernah mengalami kejenuhan, dan tdk mood? Apa ada contoh cerpen yg dikerjakan dgn waktu pengerjaan yg lamaaaaa..aaa sekali…? Bisa diceritain detailnya…


    Pastilah ada! Biasanya Mood hilang kalau ada “gangguan” dari luar atau lagi Pre Menstruation Syndrom (Hahahaha!) Awalnya PMS selalu saya tangkis sebagai suatu keadaan yang tak ada atau tak mungkin terjadi pada perempuan. Tapi akhirnya, setelah saya mempelajari siklus saya dan membaca tulisan-tulisan medis, saya harus mengakui bahwa pengaruh hormonal dalam tubuh sangat mempengaruhi hormone endorphin (hormon yang membuat kelenjar bisa memproduksi perasaan senang atau bahagia dalam tubuh seseorang. Tentu saja ini berpengaruh pada perilaku dan cara berpikir serta kerja tubuh pada waktu-waktu itu.

    Gangguan dari luar lainnya ya masalah kerjaan di luar kesenangan bermain membuat cerita pendek. Tentu juga masalah emosi kalau semisal lagi dekat dengan seseorang atau terlalu sibuk “nyampah” bareng teman-teman (kegiatan hang out bersama, di mana kami biasanya Cuma membicarakan hal-hal sepele dan tidak perlu. Hal-hal yang bisa membuat kami tertawa bareng). Hihihi

    Hal lain yang membuat Jenuh ya kalau “writer block!”. Ide itu seperti rock star atau vokalis sebuah band yang belum jadi dan nggak pede serta selalu merendah hati, menurut saya. Semakin dicari semakin tidak ketemu. Semakin diyakinkan kalau si calon rock star adalah memang rock star, semakin dia menyangkal dan bilang kalau dia adalah penyanyi biasa-biasa saja. Tapi begonya, kita kerap melihat, ide itu mendatangi kita dengan rupanya yang cemerlang. Seperti juga kualitas vocal si penyanyi yang terdengar begitu bagus. Namun ketika di “push” ide cemerlang punah. Vokal si bakal rock star jadi cempreng awut-awutan…

    “Mencari Lukas” adalah contoh cerpen yang pengerjaannya lama dan memakan waktu tahunan. Ketika sudah selesaipun, saya tidak puas. Ketika membacanya di kumpulan cerpen saya, saya jadi malu sendiri. Ya, begitulah…


    7)Biasanya, ide menulis cerpen itu dari mana? Bisa diceritain secara panjang dan detail gak, bisa dituliskan semisal contoh kasusnya dlm beberapa
    cerpen….

    Ide datang dari mana-mana. Seperti yang saya tuliskan di pertanyaan paling awal. Dari cerita orang. Dari kisah teman. Dari buku mitologi. Dari kepala sendiri. Dari lantai yang dingin. Apapun bisa jadi ide lah, asal kita lagi mau mikir dan otak kreatif kita lagi “menyala”.

    “Bagaimana Supaya Tidak Diculik Alien,” Berasal dari persentuhan saya dengan seorang pengasuh komunitas BETA-UFO yang juga menjadi pemred almarhum majalah “INFO UFO” Nur Agustinus. Sebuah majalah yang membahas seputar fenomena UFO dan Extra Terrestrial, bermarkas di Surabaya. “KANAKAR”, berasal dari mitologi pleades, tujuh bintang terang di angkasa dan mitos rasi Orion. “Stay Far Away So Close,” adalah cerita jatuh cinta seorang teman dekat saya.


    8)Masih suka nemuin kasus penolakan naskah gak Cu..? Rasanya gimana?

    Ya iyalah! Rasanya biasa saja… Hahaha. Kepada salah satu redaktur Koran, saya malah bilang “semakin diacuhkan, entah kenapa saya justru merasa semakin ingin diterima.” Hahahaha…

    Namanya Usaha. Kalau mau bikin karya, ya bikin saja! Yang penting tulis saja dulu. Soal dimuat atau tidak itu bukan masalah. Tugas seorang pencipta selesai ketika mencipta. Kalaupun ada seorang marketing dalam tubur seorang creator, ya itu harus dibedakan antara “creator” dan “sales man”. Hahaha…

    9)Kalo dimuat rasanya gimana?


    Ya seneng lah… Apalagi kalau perubahan-perubahan tulisan dalam proses editing sebuah pemuatan dikonsultasikan. Itu hal yangpaling menyenangkan. Setelah si creator jadi sales man, ternyata si editor menyapa lagi si creator.

    10)Kami pernah mendapat sejumlah email masuk ke redaksi Sriti, kalau Ucu cerpeni yg doyan dgn teknik penulisan dongeng, tapi tanpa tujuan bercerita. Apa komentar Ucu?

    Gak apa-apa. Sah aja orang berkomentar dan saya termasuk tipe orang yang tak pernah keberatan dengan apapun yang dibilang orang. Thanks god! Masih ada orang yang masih mau perduli pada saya ;P

    Mungkin terdengarnya egois. Tapi menulis memang kadang adalah kerja yang sangat personal. Saya merasa mau menulis berdasarkan ketertarikan saya. Kadang ada misi social, kadang Cuma pengen bagi cerita.

    11) Bisa diceritain gak, gimana cara menanggapi perbedaan “selera” redaksi. Misalnya kan cerpen di Kompas pasti beda dgn Koran Tempo, atau Media
    Indonesia misalnya? Bisa diceritain secara mendetail gak Cu...??


    Ya itu kan selera. Kalau mereka berorientasi pasar ya itu mungkin hokum kerja media. Sedang selera ya tergantung si “penyeleksi” naskah atau orang dibalik rubrik tersebut.

    Kalau bagi saya, menyesesuai-nyesuaikan tulisansaya dengan selera orang, kalau bisa ya bagus! Itu artinya sebagai penulis dia sudah handal banget. Tapi dalam hubungan antara jenis tulisan (cerpen) dengan media yang mempublikasi, saya lebih suka menjadi seperti sepasang orang yang jatuh cinta tanpa sengaja lantas bisa saling menerima apa adanya. Saya tak harus menjadi dia, dia tak harus menjadi saya. Tapi cukup dia menyukai saya dan saya menyukai dia…


    12) Apakah ada proses tambal sulam untuk naskah yg ditolak media A, lalu dikirim ke media B, misalnya? Bisa dijelasin gak secara blak-blak-an..?

    Soal ditolak oleh media yang satu kemudian dikirim ke media yang lain, Ya itu wajar. Namanya juga usaha. Sepertinya bukan hanya semua penulis deh, tapi ya memang begitu cara kerja prinsip dasar pemasaran. Di tolak di pasar yang ini, masih ada pasar yang lain…

    Tugas penulis Cuma berkarya. Setelahnya, biarkan si Salesman bekerja. Hihihi…

    13)Gimana cara nyesuain mood untuk menulis cerita cerpen unt orang dewasa dan remaja?

    Gua nggak pernah nulis cerpen remaja, chus! Tapi ya mungkin harus riset dulu lah! Itu pasti! Saya tabu menulis tentang hal yang tidak saya ketahui, tanpa berusaha untuk mencari tahu dulu.

    14)Gimana beda rasa nulis cerpen, dan buku dongeng anak? l.. bisa dijelasin gak?

    Sama saja. Cuma di kepala memang ada semacam buku panduan tentang pasar yang nggak kelihatan. Ketika nulis cerita anak, saya sudah punya range usia orang yang akan baca (meski kadang meleset, karena cerita anak dibacakanorang dewasa. Jadi orang dewasa juga turut membaca cerita anak). Dan ketika menulis cerpen, ya saya berpikir siapa kira-kira orang yang menyukai jenis cerpen dengan tema dan struktur bercerita seperti itu…

    15)Apa saran untuk penulis cerpen pemula?

    Sebagai sesama penulis pemula… saya pikir kita harus terus banyak menatap, menengok dan menoleh. Apa yang akan terjadi atau mungkin terjadi di depan, apa yang terjadi sekarang dan apa yang telah terjadi di sekitar kita… menurut saya adalah bahan yang paling layak buat dijahit menjadi cerita.

    Mengaranglah! Tapi jangan pernah lupa prinsip pelajaran mengarang yang paling utama; Di dunia yang begini absurd, tidak pernah ada yang namanya karangan. Semuanya adalah realitas…

    29.07.2005

Post Title

Mengapa Menulis CerPen?


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2005/07/mengapa-menulis-cerpen.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls
Cpx24.com CPM Program

Popular Posts

My Blog List

Total Pageviews