Powered by Blogger.

Dua Surat Untukmu, Yang Harusnya Kukirim Kemarin... (surat-1*)




    Kemarin, harusnya kukirim dua surat untukmu..

    Pertama, surat cinta yang samar
    Kedua, surat tentang perasaanku yang selalu bercampur bila mengingatmu.

    Karena malam ini aku hanya punya waktu sedikit, maka inilah surat yang pertama yang harusnya kukirim padamu kemarin... surat cinta singkat yang mungkin tak berisi rayuan atau kata-kata gombal, tapi cuma sebuah surat cinta yang samar. tulisan yang lamat-lamat mungkin mengingatkanmu pada sesuatu yang bukan apa-apa; aku.

    Kak,
    Kemarin pagi seorang teman menulis sebuah surat yang amat bagus, setidaknya menurutku. Sebuah surat tentang pelajaran yang baru diterimanya pagi itu. Dia, teman kita. Aku mengenalnya, dan aku tak syak sama sekali bahwa kau pun pastilah mengenalnya juga.

    Dia, teman kita itu, berumur 50-an. Dan sang guru yang mengajarinya hal baru, belum lagi berusia 13 bulan.

    Sesaat setelah membaca suratnya, pikiranku langsung melayang padamu. Tulisan itu Kak, membentangkan benang ingatanku padamu karena kau kerap bercerita tentang anak-anakmu. Tentang kue yang kau bagi buat mereka dalam puisimu. Tentang betapa inginnya kau menjadi ayah yang disukai anak-anakmu karena kau pun menyukai ayahmu dari sejak kecil dulu dan masih tetap begitu perasaanmu padanya, sampai kini.

    "Ucu, aku sangat suka ayahku," ucapmu suatu hari pada tanggal yang tak kuingat lagi. Dan tentu saja aku pastinya hanya mengangguk-angguk sambil terpukau mendengarkan ucapanmu.

    Kau tahu syair lagu yang dilantunkan Sting dan The Police dari salah satu track album 'Every Breath You Take?'

    ... Yup!
    Bila Sting bilang 'Every little things she said is magic," maka begitulah kau bagiku. semua yang kau ucapkan bagiku selalu terasa bagia sebuah keajaiban. Bukan cuma arti kalimatnya, namun terlebih pada efek yang kemudian terimbas padaku. Bagiku, ucapan-ucapanmu, jauh lebih banyak hikmahnya daripada kata-kata para ustadz yang terhambur di mimbar-mimbar jumatan atau di tepi-tepi meja kalam di televisi.

    Contoh mudahnya saja... Banyak teman dan para senior berbicara, menganjurkan, atau bahkan mau membimbingku mencarikan jalannya bila aku ingin kuliah lagi, misalnya. Tapi semua ide itu... bagiku sama sekali tak menarik minat dan menggugah keinginan sampai suatu hari setelah ku mengenalmu, kau datang dan bilang, "Ucu, aku mau kuliah lagi. Masih belum tahu apakah Paris ataukah cukup Australia saja. Yang jelas, aku akan kembali kuliah". Dan kau tahu... sejak kau mengatakan kalimat itu padaku, secara ajaib seluruh jiwa dan sel dalam tubuhku merenda jalan dan meretas kemungkinan-kemungkinan yang sebelumnya tak pernah kupikirkan: kembali ke bangku sekolahan (Kakak, aku jadi mau kuliah juga!)

    Dan saat kau kerap bercerita tentang jagoan-jagoan kecilmu, bagaimana rasanya memiliki anak, pikirankupun membiak.

    Dulu tentu sempat kuberpikir tentang anak, tapi itu sangat lalu. mungkin sekitar usia 22 atau 25 dan 27-an lah. Lalu seiring banyak hal yang kutemui di jalan, pikiran tentang anak itu hilang sampai saat kau datang dan melalui cerita-ceritamu, pikiran masa lalu itu kembali menjengukku.

    "Ucu, anak membuatku memiliki tanggungjawab," ujarmu waktu itu. "Lagian kita tak selamanya muda... saat lelah, energi terkuras dan kau merasa begitu letih untuk melanjutkan hidup, maka dengan memandang mereka saja, energimu akan kembali. kau akan mampu melakukan apa saja buat mereka," ucapmu melengkapi pendapat pribadimu tentang jagoan-jagoan kecilmu.

    "Bagaimana rasanya mempunyai anak?" tanyaku ingin tahu.

    "Amazing, tapi juga bikin pusing," ucapmu sambil terbahak, dan dengan jelas, sampai saat ini aku masih bisa mengingat tone suara tawamu meski itu cuma kau yang tertawa di ruas kamarmu dan aku mendengarkannya dari telepon genggam di tepi kasurku. kita berjauhan. jarak antara kita terentang. tentu saja, kita tidak dalam satu kamar.

    Tapi pagi ini...

    Kak, aku menemukan tulisan teman kita. Dia menulis sangat bagus tentang apa yang telah bisa diajarkan putri kecilnya pada sang Ayah. Dan karena setiap kali aku mengalami, memiliki, atau merasakan hal bagus aku selalu ingin membaginya denganmu, maka inilah yang terjadi saat ini.

    Tentu saja aku harusnya menulis surat ini kemarin, untukmu.
    Aku membacanya kemarin...

    Namun tentu tak ada tanggal kadaluarsa untuk ingatan dan tulisan. Untuk surat yang ingin dikirimkan. Surat untukmu, tentang seorang putri kecil yang mengajari anaknya pelajaran yang sangat berharga dan belum tentu bisa diajarkan orang dewasa, atau orang lainnya.

    Aku yakin, bagi Hamid Basyaib--teman kita itu, anaknya adalah serupa engkau bagiku. Melakukan dan mengatakan banyak hal yang keluar secara spontan dan tak memiliki tujuan politis untuk mengajari tentang 'sesuatu hal', tapi dengan cara yang aneh, kalian... menggugah kami untuk mengetahui hal-hal yang sebenarnya mungkin saja telah kami ketahui namun terlupa karena banyaknya prioritas-prioritas yang menjadi semacam 'arus utama'.

    Kakak,
    Inilah tulisan berupa surat yang kubilang bagus itu...


    ____________________________________________________

    *Hak Milik ALma Sophia*



    Hari ini, kembali Alma Sophia memberi saya pelajaran penting. Ia berusia 12 bulan 3 minggu, dan sedang bermain-main dengan saya ketika Pak Supir, tanpa bicara, mengambil laptop dari meja makan untuk dibawa ke mobil – saya akan segera ke kantor.

    Melihat laptop ayahnya “dicuri”, Alma dengan langkah limbung (ia baru sebulan bisa berjalan), segera mengejar sang “pencuri” sampai ke pintu pagar, sambil berteriak-teriak dan mengacung-acungkan kedua tangannya.

    Ia terdiam dan tampak bingung merasakan saya tidak bereaksi. Ia ingin memastikan perasaannya dengan membalikkan badan, lalu berlari ke arah saya. Baru beberapa langkah, ia berhenti mendadak ketika tersadar bahwa si pencuri bisa pergi makin jauh karena ia lepaskan dari kejarannya. Alma menatap saya. “Kenapa Ayah diam saja?” begitulah nada protes tatapannya. “Lihat, barang ‘kita’ dicuri!”

    Karena saya tetap diam dan hanya menatapnya dengan takjub dan terharu pada pembelaannya, ia kembali membalikkan badan dan berlari ke arah sang pencuri sambil melanjutkan teriakan-teriakannya yang tak berstruktur.

    Setelah susternya menerangkan bahwa laptop itu bukan dicuri tapi cuma dimasukkan ke mobil untuk dibawa ke kantor, barulah Alma tenang.

    Ia tahu bahwa benda yang tidak ia ketahui namanya itu adalah milik ayahnya, milik “kita”, kepunyaan keluarganya, meski bukan mainan pribadinya.

    Apakah hak milik itu natural, bukan konsensus budaya? Tampaknya begitu. Secara alami rupanya setiap manusia memahami dan menerima konsep hak milik.

    Kebudayaan kemudian merumuskannnya sebagai hukum – sambil terus mempercanggih konseptualisasinya (merinci jenis-jenisnya, batas-batasnya, masa waktu kepemilikan, dsb). Tapi semua ini, meski tentu saja sangat penting, hanyalah pem-budaya-an yang dikukuhkan dengan peng-hukum-an (legalizing). Basisnya adalah alami, kodrati.

    Alma Sophia hari ini mengajari saya tentang hal itu. Saya tidak pernah memberitahunya bahwa laptop itu milik saya, milik “kita”. Saya tak perlu menginformasikan kepada dia, sebab saya pikir benda itu tak relevan dengan dirinya (di sinilah mungkin letak kesalahan saya). Dan itu adalah salah satu saja dari rangkaian pelajaran yang setiap hari – setiap hari! – dia berikan kepada ayahnya.

    Saya tak henti mengucapkan terima kasih kepadanya, bukan sekadar karena pelajaran-pelajaran itu. Tiap hari saya membisikkan terima kasih ke telinganya, meski kadang dia tak mendengarnya karena telah tertidur, karena Alma telah menjadi anak yang melampaui harapan orangtuanya.

    Ia, seperti semua anak seusianya, adalah manusia dewasa bertubuh mini. Saya tidak pernah dan tak akan pernah mempermainkannya. Misalnya dengan pura-pura mau memberi sesuatu kepadanya lalu menariknya. Atau mengoloknya dengan pura-pura mau mengambil benda miliknya. Atau menakut-nakutinya dengan hal apapun.

    Atau menertawai kemalangannya, misalnya jika ia dengan “bodoh” dan “kocak” terjatuh, semata-mata karena alam masih menunda pemberian berkah kekuatan fisik minimal baginya untuk melakukan apa yang dia inginkan terlalu cepat. Atau membohonginya sekadar supaya dia mau makan atau menuruti kemauan saya.

    Saya selalu menghormati Alma Sophia. Sebab, seperti semua anak lain, ia berhak mendapatkan penghormatan itu. Dan ia perlu memahami konsep hormat itu sedini mungkin – saya telah memilih caranya: dengan menerapkan konsep itu pada dia, sejak hari pertama kehadirannyadi dunia ini.

    Kelak, Alma, jika kamu membaca catatan ini, dan melihat saya bersikap sebaliknya, tolong diingatkan, ya. Saya meyakini satu hal: peluang kamu dan saya untuk benar sama besarnya dengan peluang kita untuk salah.

    Teruslah tumbuh, ’Nak.

Post Title

Dua Surat Untukmu, Yang Harusnya Kukirim Kemarin... (surat-1*)


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2009/10/dua-surat-untukmu-yang-harusnya-kukirim.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls
Cpx24.com CPM Program

Popular Posts

My Blog List

Blog Archive

Total Pageviews