Powered by Blogger.

Once Upon a Time *Ketika Saya Mendadak Dokumenter




    Ini masih jam 19:23 waktu sukabumi. Diluar, hujan yang turun tipis-tipis masih saja menyisakan suara rintiknya, menembus dinding rumah yang alhamdulilah sewaktu terjadi gempa kemarin, tetap kuat melindungi penghuninya.

    Saya tujuh bersaudara. Saya anak ke-enam dan kakak lelaki tepat di atas saya baru saja kembali pulang bersama keluarga kecilnya (istri dan 2 anak mereka) ke rumah mereka di Cianjur setelah 2 hari menginap 'Mudik' di rumah ibu saya (ayah saya telah meninggal). Ibu saya, dari ruang tamu lantai dua tempat saya mengetik NOTE ini, saya lihat sedang 'kembali' sendirian menonton sinetron "Manohara' di RCTI. Dan Adik saya yang paling bontot, lagi ngelonin anaknya yang berumur 3 tahun yang kayaknya kena demam karena kebanyakan main sama saudara-saudaranya dan lari-lari di luar dari sejak lebaran kemarin.

    Saya, tentu saja kembali menjadi autis setelah bisa online 24jam unlimited sejak tanggal 15 September, waktu dimana roommate saya, veronica pergi ke New York dan meninggalkan saya sendirian selama 4 bulan ke depan.

    Dengan lega dan sama sekali tak keberatan, saya pun kembali menjadi POA (person with account), kebalikan dari PONA (person with no account) yang dalam bahasa internet adalah berarti: seseorang yang memiliki jaringan atau sedang melakukan koneksi (online) dengan account-nya di alam maya.

    Setelah sibuk berlayar dan melakukan berbagai browsingan, undangan itupun muncullah, sebuah diskusi di STF Driyarkara tanggal 28Sepetember nanti. Diskusi buku"Mari Berbincang Bersama Plato, Persahabatan (Lysis)" terbitan iPublishing.

    Buku ini menarik perhatian saya karena Toeti Heraty sempat menulis review buku ini di Koran Tempo Minggu, dengan begitu bagus. Membuat saya terkesan, ingin membeli buku tersebut, dan antena nggak kelihatan di kepala saya langsug berdiri tegak begitu melihat ada kesempatan menghadiri diskusi buku ini yang katanya akan dihadiri oleh penulis bukunya dan Bu Toeti Heraty sendiri. Pada tanggal tersebut di Jakarta, kebetulan saya belum memiliki agenda kecuali kursus bahasa pada malam harinya.

    Nah, di tengah keinginan saya kembali mencari artikel online Bu Toeti yang sempat dimuat di Koran Tempo itulah, secara tak sengaja saya menemukan kembali tulisan reportase seorang wartawan WARTA KOTA tentang supriono.

    Supriono adalah seorang pemulung yang pertama kali menginspirasi saya dan membuat saya nekad mensubscribe ide script dokumenter pertama saya yang berjudul 'DEATH and CLASS in JAKARTA' ke JIFFEST Script development pada akhir tahun 2005.

    Waktu itu, mengikuti suksesnya Sundance Lab yang selalu melakukan Script Development Competition pada setiap penyelenggaraan festivalnya, untuk pertamakalinya JIFFEST melakukan script Development Competition. (Sayangnya, dengar punya dengar, pada tahun 2009 ini, setelah hampir 4 tahun berlalu dan tiap tahunnya selalu mengadakan JIFFEST Script Development Competition, saya mendengar kabar yang menyedihkan dari direktur program JIFFEST, Lalu Rais. Karena kendala keuangan, JIFFEST katanya akan meniadakan JIFFEST Script Development Competition, baik itu untuk short doc dan short fiction, maupun untuk long doc dan feature film. *So Sorry to hear this)

    Anyway... Kembali ke supriono...

    Ya, tentu saja cerita saya dan kisah Supriono memang beda. Tapi tak diragukan dialah yang menginspirasi saya untuk membuat riset kecil tentang aneka hal yang berkenaan dengan kematian di Jakarta.

    Si Pemulung yang katanya setelah peristiwa kematian anaknya yang menghebohkan tersebut, sempat menjadi tukang mbak mie ayam binaan tepung terigu 3Cakra di bogor itu... Dialah yang membuat saya--seorang wartawan dan penulis freelance yang baru saja menyelesaikan kontrak dengan sebuah LSM dari Belgia-- MENDADAK DOKUMENTER.

    Ya coba, apa namanya kalau bukan mendadak dan nekad?

    Saya hanya mengerti isu, cukup biasalah kalau melakukan riset, juga kayaknya hal yang nggak asing kalau diminta mengksplore sebuah data riset hingga menjadikannya sebuah cerita, tapi.... membuat film dokumenter? Whuaaaa...

    Meski saya sadar, saya nggak tahu apa-apa dalam pembuatan atau teknis media audio-visual, tapi saya nekad saja.

    Saya berpendapat, media audio-visual dengan dokumenter sebagai cara berkomunikasinya, adalah sebuah langkah lanjutan dari jurnalisme print. Bila dalam jurnalisme media, wartawan membawa pembacanya ke tempat kejadian melalui deksripsi dan fakta yang disajikan melalui seni tarian tulisan, maka dengan dokumenter, penonton (yang dalam media print adalah pembaca) dibawa langsung mata dan telinganya ke tempat kejadian melalui kamera yang tentu saja diwakili mata si sutradara.

    Kolaborasi pikiran, ide dan teknis, harus menjadi kesatuan dimana jantung tujuannya adalah menyampaikan informasi dengan angle tertentu, yang di dalamnya terdapat sebuah keberpihakan.

    Meski saya buta total dengan dokumenter, berbekal kamera handycam yang saya punya, saya merasa adanya panggilan kuat dari kematian.

    Secara sosial dan klise, kematian kerap diasosikan orang dengan kalimat "Setelah seseorang meninggal, dia tak memiliki lagi hubungan dengan dunia. Segala relasi sosialnya: terputus" Yang saya dapati setelah melakukan beberapa pengamatan di TPU Utan kayu yang berkelas-kelas, lalu dilanjutkan dengan beberapa riset, saya justru mendapatkan fakta yang sangat berlawan.

    Bahkan setelah seseorang meninggal sekalipun, hubungannya dengan dunia masih ada. Relasi kelas dan sosial itu justru malah makin kelihatan.

    Maka dengan begitu pendapat "Setelah seseorang meninggal, dia tak memiliki lagi hubungan dengan dunia. Segala relasi sosialnya: terputus" adalah salah besar. Dan untuk membuktikan kalau asumsi saya benar, saya pun setiap sore melakukan riset dan kerap nongrong iseng sendirian di kuburan Utan Kayu (Kini saya meyadari, dari sanalah rupanya relasi saya dengan atmosfir kuburan, terbangun. Ada sesuatu yang indah, gelap dan khidmat dari kematian persemayaman kuburan).

    In a way...kebetulan alam juga rupanya mendukung.
    (MAY THE FORCE BE WITH US. always)

    Secara nggak sengaja saya kemudian bertemu Vero yang masih newbie di Jakarta (dia inilah yang kemudian menjadi roommate saya dan sekarang meninggalkan saya ke New YOrk).

    Saya cerita ke dia tentang ide film dokumenter yang mau saya bikin, saya paparkan asumsi dan backround pemikiran saya dan saya ajak dia untuk gabung dalam project dokumenter pertama itu.

    Dalam diri anak jogya semester delapan jurusan kimia tersebut, saya melihat kesamaan minat terhadap isu dan keberpihakan, kemampuan untuk melakukan riset dan kayaknya bakal jadi partner yang oks untuk menganalisa temuan-temuan di lapangan dan menaikkannya menjadi sebuah cerita yang kuat.

    Dan terlebih..., saya memang butuh partner dalam riset dan development script itu nantinya. Harus jujur diakui, memiliki partner dan tidak sendirian, membuat sebuah motivasi makin kuat, terlebih, karena dalam beberapa hal saya memang kerap kerja dengan tim dan membutuhkan beberapa 'tektokan' pikiran dan beberapa perdebatan (kecuali dalam menulis, dimana untuk hal tersebut harus dilakukan sendiri--terutama ketika eksekusi, hehe).

    Dan setelah bertemu vero, riset lapangan yang lebih serius itupun kami mulailah...

    Pertama sekali, kami menemukan adanya sebuah paguyuban kematian yang cukup besar di sebuah kampung di daerah kumuh Lenteng Agung di sepanjangan bantaran kali Ciliwung. Lalu ketika riset di Kampung Kolong Tol - Jakarta Utara (saya mendapatkan kontak mereka dariUPC), kami menemukan ada ratusan pemulung dan ribuan orang-orang yang cuma mampu tinggal di bawah kolong tol yang jelas-jelas nggak punya KTP Jakarta--lantas bagaimana kalau mereka mati, padahal syarat untuk bisa dikubur di jakarta adalah keterangan kematian dari RT setempat dan harus ada KTP DKI-- apakah orang miskin nggak layak bahkan untuk mati di Jakarta?

    Lalu ketika hendak mulai produksi, kami pun bertemu dengan raksasa besar birokrasi yang umurnya puluhan dan mungkin ratusan tahun, yang bercokol di sebuah rumah sakit umum: RSCM. Sulit sekali menembus perijinan pengambilan gambar di ruang pemulasaraan jenazah di RS ini. Butuh waktu 3 bulan dan 2 hari, (yang 2 hari ini) yang tanpa henti mendatangi RSCM, menunggui para birokrat di RS tersebut dari jam9pagi sampai jam4sore. Saya tak perduli. Saya nongkrong terus saja di kantor Humasnya. Saya harus ketemu Humas RSCM itu!

    Setiap ada dokter yang masuk, saya tanya ke petugas siapa namanya, setiap dokter habis bubar rapat, saya juga melakukan hal yang sama.

    NGOTOT, itu prinsipnya. HARUS DAPET IJIN dalam dua hari itu juga, itu tekad besarnya.

    Sebuah pengalaman berhadapan dengan birokrasi yang amat menjengkelkan yang membuat saya akhirnya mengerti bahwa: LEBIH BAIK MINTA MAAF DARIPADA MINTA IZIN.

    Tips tersebut, untuk pembuatan video atau dokumenter yang sifatnya cuma pengambilan gambar untuk footage yang non-prior, kerap saja jadikan pegangan.

    Selain kematian yang terjadi di kelas ekonomi bawah jakarta, kamipun mendatangi agen bisnis kematian kelas atas: naga sakti dll.

    Tentu saja saya sama Vero tercengang mengetahui harga paket pemamakan yang hampir 200juta (sementara para tunawan ditanam di tanah dengan kedalaman tak lebih dari 60centi dan kuburan mereka begitu penuh dengan aroma bau busuk mayat yang tak terkubur dengan baik). Kami juga terkagum-kagum dengan upacara Ulam Bana yang amat eksotis dan penuh makna yang dilakukan para etnis tionghoa indonesia yang budhist. Dari Ulam Bana ritual ini, saya mengerti kalau roh pun harus disayangi. Diberi makan supaya nggak jahat dan menganggu orang. Memiliki waktu untuk keluar dari neraka dan kembali mendatangi keluarga tersayang mereka yang masih tersisa di dunia. Dan tentu saja... masih banyak lagi lah cerita lain yang begitu menarik dari riset untuk script dan riset produksi DEATH and Class di Jakarta ini..

    Hingga akhirnya... skrip yang diilhami peristiwa kematian anaknya pemulung Supriono ini, seperti diramalkan banyak teman, keluar juga sebagai pemenang. Bersama dengan KAMBING CUP, DEATH IN JAKRTA menjadi script dokumenter pertama saya. Sebuah script yang dieksekusi menjadi film dan merupakan langkah pertama saya di dunia audio-visual.

    Dan di sukabumi, ketika lebaran masih kelihatan jubahnya, ketika saya mencari artikel online tulisan Bu Toety tentang plato dan LYsis, Supriono kembali muncul... Menyeruak begitu saja di antara window internet yang terbuka.

    Dan tetap...
    Ketika kembali membaca kisahnya di arsip lama WartaKota
    Bulu kuduk saya masih saja merinding...


    ___________________________


    PEMULUNG NAIK KRL UNTUK MENGUBUR ANAKNYA
    Salemba, Warta Kota


    PEJABAT Jakarta seperti ditampar.. Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah. Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor pun geger Minggu (5/6-2005).

    Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn). Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL.

    Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

    Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. “Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari,” ujar

    bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu.. Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

    Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00.

    Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski yang termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak.

    Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor . Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

    Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet. Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang
    Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono

    menggendong Khaerunisa menuju stasiun.Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor. spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.

    Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan. Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku.

    Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya.

    Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor . Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

    Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut, karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama.

    “Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa
    Indonesia ,” ujarnya.

    Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz, mengatakan peristiwa itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan kesehatan bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin****

Post Title

Once Upon a Time *Ketika Saya Mendadak Dokumenter


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2009/09/once-upon-time-ketika-saya-mendadak.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls
Cpx24.com CPM Program

Popular Posts

My Blog List

Blog Archive

Total Pageviews