Powered by Blogger.

Apa Yang Kau Tulis Wahai Penulis





    Ini curhat colongan. Atau suka-suka lah, sebut apa saja terserah. Yang jelas, saya nggak mau bergosip apalagi menebar rumor. Meski tentu saja saya amat mengerti, di Jakarta sini tipis banget beda antara gosip dengan opini, infotainment dengan hard news, fakta dengan fiksi. Dan dalam kaitannya dengan itu semua, curhat colongan ini tentu saja berkutat sekitar hal yang saya geluti; penulisan fiksi. Itu pun bila ada yang mengenal saya sebagai penulis fiksi.

    Di antara ratusan penulis baru yang belakangan banyak muncul dan amat banyak pula yang berbakat, siapa sih memangnya saya ini? Hiks. Maka bila ada satu saja dari pembaca kolom
    Pendapat
    ini yang pernah membaca tulisan saya, rasanya saya amat bersyukur.

    Hanya saja yang jelas, saya—penulis fiksi tak dikenal ini—adalah seorang perempuan. Saya memiliki ide, dan sebagaimana juga manusia lainnya saya mempunyai benjolan di bagian paling atas badan; kepala, orang menyebutnya demikian. Di dalamnya, bersarang seluruh pusat mekanisme kerja nalar.

    Ya, saya perempuan dan selain kepala saya juga memiliki tubuh. Di atasnya terpapar sebuah bidang antara kepala dan perut. Di dalam bidang yang biasa disebut dada tersebut, berlindung sekeping hati. Muara segala rasa. Tempat saya bisa merasakan dan menanak emosi.

    So, saya perempuan dan kebetulan saya menulis. Dengan hati dan kepala, saya mencoba merangkai cerita. Membuat sebuah dunia. Tentunya saya menulis apa saja yang ingin saya tulis. Segala hal. Tentang pagi yang tak berbau, tentang mahluk-mahluk dari luar angkasa, kisah-kisah cinta, tentang seorang lelaki yang mengaku berayah angin, tentang perempuan kecil yang menyedot kedua orangtuanya ke dalam Vacuum Cleaner. Saya hepi, semoga pembaca di luar sana juga senang. Dan saya berharap setidaknya beberapa orang bisa menikmatinya, tapi beberapa orang juga ternyata terusik.

    Saya penulis bergender perempuan dan belakangan banyak menulis tentang relasi homoseksual; hubungan-hubungan sesama jenis; lelaki dan lelaki; perempuan dengan perempuan; gay dan lesbian; transvestite dan biseksual. Dan pertanyaan itu mulai harus saya hadapi saat saya bertemu dengan hampir rata-rata semua orang yang pernah membaca tulisan—terutama cerita-cerita pendek saya.

    Ucu, lo lesbian ya?
    itulah pertanyaannya.

    Tentu nggak mau dong, saya tertawa tak santun atau tergelak tak sopan sambil menjawab pertanyaanya. Sejauh ini, jawaban jitu saya selalu cuma satu: “Aduh, kayaknya enak juga tuh kalau bisa jadi lesbian. “ Hehehe. Begitulah.

    Mendapati jawaban yang diberikan, tentunya respon orang beragam. Ada yang meminta maaf dan jadi nggak enak, ada yang pura-pura lupa pernah nanya hal itu dan kemudian sama sekali nggak menyinggungnya lagi dalam obrolan kami seterusnya, namun tentu saja ada juga yang terus ngorek-ngorek dan berusaha mencecar saya—mengemukakan teori ini itu untuk membuat saya mau menjawab apa yang mau mereka dengar.

    Sayangnya saya tak pernah berminat menjadi Thomas Alva Edison, tuh. Saya juga kebetulan nggak pernah bekerja di Departemen Penerangan yang memang sudah ditutup sejak masa pemerintahan Gus Dur, hingga saya berpendapat nggak harus memberi jejak terang apapun lagi selain jawaban yang silahkan diartikan sendiri saja seperti jawaban yang biasa saya berikan di atas.

    Kalau mereka mau menganggap saya lesbian, ya sudah. Anggaplah demikian. Saya nggak ambil perduli. Lagi pula siapa yang bisa mengendalikan pikiran? Dan kalaupun saya memang seorang lesbian, so what?

    Hanya saja jangan salahkan saya kalau sejujurnya saya merasa ajaib dengan orang-orang yang punya pemikiran demikian.

    C’mon…! Haruskah Agatha Cristie membunuh beberapa orang untuk bisa menulis kisah-kisah yang tertisik dalam puluhan novel misteri pembunuhan yang telah dibikinnya? Apakah Mitch Albom mati terlebih dahulu hingga ia bisa menulis dengan sangat bagus kehidupan pascakematian Eddy si penjaga pasar malam dalam Five People You Meet in Heaven Kapankah Michael Cuningham bertemu Virginia Woolf hingga ia bisa menuliskan kisah 3 perempuan beda zaman dalam novelnya yang meraih penghargaan Pulitzer The Hours Atau haruskah Ayu Utami benar-benar menjalani hubungan selingkuh dengan pria beristri saat ia menulis dengan demikian memikat relasi gadis kota lugu Laila dengan si penambang pemberontak Sihar dalam novel Saman?

    Lalu dimanakah peran imajinasi? Pada porsi macam apakah kecerdasan si penulis diperlukan? Apakah yang kau tulis, wahai penulis?

    Tulislah apa yang kau tahu, demikian seorang seorang tutor memberi tips dalam sebuah workshop penulisan.
    Tantangan terbesarku adalah aku harus bisa ngehidupin si karakter yang aku tulis dalam buku biografinya
    , ucap Alberthiene Endah, novelis dan penulis beberapa buku biografi pada suatu sore di apartemennya, saat ia membuka-buka kembali buku biografi almarhum Chrisye yang baru saja ditulisnya. Dan ketika Leonard Woolf bertanya
    Mengapa seseorang harus mati dalam novelmu?
    kepada istrinya Virginia Woolf, penulis perempuan itu dengan enteng menjawab
    Seseorang harus mati agar kita semua bisa lebih menghargai hidup
    . Beberapa tahun setelahnya, Virginia memang benar-benar mati seperti karakter-karakter yang ditulisnya. Bukan karena penyakit, tapi dengan cara bunuh diri di tahun 1941.

    Itukah yang ditulis para penulis? Itukah dunia yang dibagi kepada kita dari penulis feminis Virginia Woolf dalam karya-karyanya seperti Orlando, To The Lighthouse, A Room Of One’s Own, The Waves atau dalam Mrs. Dalloway? Cara pandang yang suram terhadap kehidupan untuk membuat manusia lebih menghargai hidup? Yang ironisnya, di akhir semua proses itu Viriginia justru secara ekstrim seolah ingin menyampaikan pesan bahwa hidup baginya memang begitu suram dan membuatnya tak bisa menghargainya lagi hingga ia membuat keputusan ekstrim untuk berhenti menjalaninya.

    Untuk kasus salah satu penulis idola saya di atas, sebagai pembaca, saya bisa mendengar jeritan Virginia Woolf di hampir seluruh koridor teks dan plot dalam novel-novel yang ditulisnya. Jeritan yang memantul dalam teks dan menggemakan pertanyaan-pertanyaan khas milik penulisnya: Apakah itu definisi menjadi perempuan? Bagaimana sebenarnya makna kesenangan-kesenangan sederhana dalam hidup? Dapatkah momen-momen luar biasa menjadi penawar penantian panjang yang membosankan dan menakutkan sepanjang ribuan jam penantian menjelang ajal dan kematian?

    Hhh… (menghela nafas panjang dulu ya).

    Membaca karya orang, melihat biografi-biografi penulis besar, mencermati cara hidup beberapa penulis sini (Indonesia-red) yang saya tahu tapi tak saya kenal, ataupun beberapa penulis yang menjadi teman, membuat saya percaya bahwa menulis adalah proses menyalin kehidupan. Kehidupan yang dijalani si penulis dengan seluruh kapasitas latar belakang dan pemahaman serta pengetahuan yang dia rakit dan dia pungut dari berbagai sudut; Pengalaman batinnya sendiri; Kisah orang-orang; Relasi sosial dengan lingkungan; Imajinasi dan fantasi; Film yang ia tonton; Buku yang ia baca; Lagu yang ia dengar; Mitos-mitos besar yang ia tahu; Berita-rumor-gosip yang beredar, dll.

    Melihat itu semua dan setelah mencoba menjadi salah satu praktisi di dalamnya, saya jadi tahu bahwa menulis (dalam hal ini fiksi), adalah sebuah proses menyalin kehidupan yang diramu dengan kepiawaian menggunakan bahasa dalam pilihan diksi dan aneka metafor yang disemai di aneka sudut paragrap untuk kemudian dibingkai sebagai dunia rekaan: fiksasi. Cara bertuturnya bisa beragam, tema yang dituturkan juga sebanyak benda-benda di dunia—bisa sangat beraneka. Hanya saja hasil dari proses penyalinan itu kemudian bermetamorfosa menjadi suatu kehidupan yang lain lagi. Sebuah dunia hasil olahan seorang penulis yang bahan-bahannya bisa ia ramu dari mana saja dan tidak melulu dari pengalamannya. Sebuah dunia rekayasa yang kelak menjadi bahan bacaan orang-orang. Orang-orang yang akan terinspirasi, orang-orang yang akan mempertanyakan, orang-orang yang akan lupa. Para pembaca.

    So, ketika puluhan tahun silam Roland Barthes dalam esay-nya yang masyhur The Death of Author telah jelas-jelas menyatakan kalau penulis mati saat karyanya telah berada di tangan pembaca, maka pertanyaan saya sekarang kepada para pembaca, masih relevan-kah hari gini mempertanyakan, apa yang kau tulis, wahai penulis??***

Post Title

Apa Yang Kau Tulis Wahai Penulis


Post URL

http://gallerygirlss.blogspot.com/2007/09/apa-yang-kau-tulis-wahai-penulis.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls
Cpx24.com CPM Program

Popular Posts

My Blog List

Blog Archive

Total Pageviews