Ke Bogor, Cirebon, Yogya dan Malang…
Kami Berdoa Semoga Kami Tak Bernasib Malang
PROLOG:
Berhasil mendapat bantuan untuk mentransfer PERTARUHAN yang semula semua gambar diambil dengan kamera digital untuk diubah ke format film. Antologi film dokumenter ini pun melakukan roadshow. Dari 10 kota (ditambah belakangan: bali—hingga jumlahnya jadi 11), inilah secara singkat beberapa note personal saya dibalik tour or traveling film ini.
____________________________
Hujan tak hadir, berharap bintang pun datang, percuma. Ini tour yang semua acaranya menjauhkan siang dan malam. Segala penayangan terjadi di pagi hari. 21cineplex tak mau rugi.
**************************
BERTEMU KEMBALI NUR, MIRA dan UDIN...
(Tour Malang, 1 Mei 2009 )
Kini tinggal bertiga. Saya, Ani Ema dan Ferry—sang line produser yang mengurusi kami dan segenap acara roadshow pemutaran PERTARUHAN yang masih tersisa.
Teh Nia, Lucky dan Jamal telah terseret gerbong kereta. Kembali ke Jakarta dari Yogya. Beberapa agenda harus mereka hadiri di ibukota. Bukan tak ingin turut ke Malang, tapi bukankah bahkan tuhan pun membagi tugas dengan beberapa malaikatnya?
Kami bukan tim Charlie’s Angels, itu tentu saya paham. Namun menghadiri beberapa pertemuan tanpa ada ibu produser kadang bikin deg-degan. Bukan apa, beberapa pertanyaan kerap ditujukan padanya dan butuh keberanian ketika harus menjawab atas nama yang bukan menjadi kewenangan kita. Tapi sudahlah, di Malang, Mbak Myra Dyarsi akan datang….
Malang memang menjadi akhir tujuan roadshow PERTARUHAN di Jawa setelah Bogor-Cirebon-Yogya. Di kota terakhir inilah beberapa protagonis akan datang. Mbak Ruwati dan Pak Yanto dari MENGUSAHAKAN CINTA-nya Ani Ema. Mbak Nur dan Mira dari RAGAT’E ANAK yang saya buat. Dan kabar terakhirnya…. UDIN!
Ya, kata teman dari CESMID, udin akan turut juga hadir. Serius, bagi saya agak deg-degan juga mendengar kabar ini. Bagaimana reaksinya? Apakah respon atau sikap Udin pada saya dan teman-teman PSK dalam film, setelah melihat sendiri dirinya di layar lebar? Berperan sebagai preman, menokohkan dia ketika menjalani kehidupan kesehariannya yang mengekploitasi mbak-mbak PSK di Gunung Bolo yang menjadi tempat pegangannya.
Dari perjalanan kereta api, teteh dan Jamal—asisten teh Nia yang selama ini berurusan untuk logistik dan hal-hal administratif lainnya dengan teman dari CESMID (sebuah LSM di Tulungagung yang banyak membantu saya dalam riset film dokumenter yang saya buat) mengabari kalau katanya, mengajak udin adalah hal yang tak bisa dihindarkan oleh CESMID.
Saya mengerti bagaimana posisi mereka (CESMID) dalam hal Udin. Tapi kadang saya juga bertanya, mengapa dibanding berpihak pada mbak-mbak PSK kok teman dari LSM ini kadang secara naif terlihat lebih cenderung berpihak pada para preman. Ya, ya… di beberapa sisi kadang saya melihat mereka demikian, tapi di sisi-sisi lain saya juga mengerti kadang mereka tidak demikian juga, sih.
Pendekatan ke preman yang akhirnya memang membuat mereka dekat secara emosi, awalnya itu pasti cuma salah satu strategi saja. Bekerja langsung di lapangan dan menjadi ujung tombak yang harus berhadapan dengan medan dan dealing dengan banyak hal untuk bisa mengakses mbak-mbak PSK, tentu saja memerlukan ‘persahabatan’ dengan para preman. Itu amat sangat wajar. Bila nggak demikian, tentu sulit sekali bagi mereka untuk bisa masuk dan dipercaya untuk bisa berkomunikasi langusng dengan mbak-mbak PSK di wilayah kekuasaan si preman. Tapi tentang inisiatif mengikutsertakan Udin yang untuk pertamakalinya akan melihat sendiri dirinya di pemutaran PERTARUHAN di Malang tanpa koordinasi dengan kami terlebih dahulu?
Selain agak khawatir dan agak penasaran (pengen tahu juga respon udin seperti apa) saya juga bertanya-bertanya tentang sudahkah mereka—teman dari CESMID—mempersiapkan udin saat ia akan melihat sendiri dirinya di film yang akan dia saksikan ber-ramai-ramai dengan penonton lainnya? Tidakkah selain pada saya, film yang dilihatnya itu juga mungkin saja kelak akan berpengaruh pada relasi udin dengan CESMID dan para mbak-mbak PSK yang menjadi protagonis dalam film (Nur dan Mira)? Tidakkah nanti Udin akan marah? Tidakkah nanti Udin akan…
Dari beberapa sms-sms an saya dengan Teh Nia yang masih menyusur jalan kereta menuju Jakarta, saya mendapat beberapa update. Di antaranya adalah bahwa, teteh telah menekankan ke teman dari CESMID untuk memberitahu Udin bahwa dari awal, film PERTARUHAN memang dikreasi dengan jendela yang sudah jelas yakni: keberpihakan pada perempuan dan dengan memakai persepktif jender dalam pembuatannya (halah). Dan Udin… sudah siapkah mentalnya ketika ia melihat dirinya menjadi penjahat dalam film tentang kehidupan yang dilakoninya?
Tentang itu, teman dari CESMID bilang ke teteh by sms, kalau Udin sudah diberi workshop gender, kok. Menurut teteh yang kemudian menerangkan ke saya by phone, teman dari CESMID katanya juga sudah mempersiapkan udin secara mental. Mereka sudah berkali bilang ‘nggak apa-apa ya mas udin, kalau nanti mungkin penonton akan mencibir kamu setelah melihat filmnya.’ Dan udin bilang, “siap!”
Oke…
Then let’s seee…
Jam 9.10 hari sabtu, tanggal 1 Mei 2009, saya sampai di 21Matos Malang. Setelah lama nggak jumpa, akhirnya pagi itu saya bertemu lagi dengan Ifada dari CESMID. Saya menyalaminya, cipika-cipiki sebentar, lantas bergegas mencari Nur dan Mira yang katanya sudah masuk terlebih dulu di studio.
Selain deretan teman-teman dari CESMID dan seorang anggota KPA (Komisi Penanggulangan Aids) Tulungagung, saya akirnya bertemu Udin lagi!
Dia menyapa saya dengan wajah yang ramah, “Pa kabar mbak?” tanyanya sambil senyum, saya membalas dengan senyum pula. Baik, ucap saya. Sedikit basa basi pada Udin, saya pun segera menyalami satu persatu teman-teman dari CESMID dan KPA tulungagung yang duduk berderet di row bangku yang sama. Penonton lain telah mulai masuk. Suasana agak chaos karena ternyata banyak penonton yang datang tanpa memiliki undangan. Yang tak memiliki undangan ini, konon ngotot pula untuk menolak berdiri dan memberikan kursi mereka ke penonton yang telah memiliki undangan yang otomatis mendapat nomor kursi duduk yang telah mereka duduki.
Jadi…
ya, begitulah.
Mesti agak chaos, tapi roadshow PERTARUHAN di Malang, secara keseluruhan, sukses parah kok.
*KONDISI TERAKHIR NUR & MIRA
Kabar itu benar adanya. Sudah 2 bulan ini Nur berhenti jadi PSK. Ia tak lagi bekerja di Gunung Bolo. Sekarang ia membuka warung. Kopi, bakwan, goreng pisang, makanan kecil, sprite, coca-cola dan snack-snack yang seharga 500-an buat anak kecil jajan, itulah yang dia jual.
“Lumayan,” katanya. Meski mengaku nggak untung banyak dan harus berusaha lebih giat dalam bekerja dan mempertahankan ‘eksistensi’ warungnya, tapi si mbak beranak lima yang bertubuh gempal itu mengaku lebih senang dengan kehidupannya yang sekarang. “Saya bisa bareng anak-anak. Saya juga nggak harus pulang malam-malam lagi, sekarang.” Ucapnya. Wajah mbak Nur, in a way, sekarang saya lihat lebih ‘berat’ tapi juga lebih tenang dan bijak.
Mira terlihat lebih ‘lusuh’. Wajahnya tak cerah dan badannya terlihat lebih kurus. Tiap sore ia masih berangkat kerja ke GUnung Bolo dan menjadi PSK di sana. Masih tetap dengan Agus yang menjadi kiwirannya. Masih tetap mengeluh tentang sepinya Bolo belakangan ini. “Susah Mbak Ucu. Sekarang Bolo makin sepi saja,” katanya. Mira juga bercerita tentang ia yang sudah pindah kos bersama agus karena kos lama naik harga sewanya. Di tempat kos baru, ia mengaku ia masih memecah batu.
Pada saya Mira mengeluh yang lain lagi, tentang betapa ia ingin seperti Nur. Ia bilang bahwa ia sudah semakin tua dan badannya sudah makin sering sakit saja. “Masak sampai tua aku kerja di kuburan melulu, Mbak Ucu. Aku juga mau, toh, punya warung kayak Nur. Hidup ngumpul bareng anak dan ibuku di Kediri sana,” ucapnya.
Saya bilang, saya bukan santa claus, dan tentang siapa menyumbang atau bersimpati pada siapa, saya juga nggak bisa mengarahkan. Saya bukan sutradara kehidupan. Bila ada orang ingin membantu dan ia lebih memilih untuk membantu Nur, saya nggak bisa nyuruh orang tersebut untuk juga membantu mbak Mira.
Pada PSK yang usianya nggak terpaut jauh dari saya itu, saya minta maaf. Dan dengan caranya yang masih agak ngotot dan pola pikirnya yang masih tak berubah, saya lihat sedikit pengertian di matanya. Mira memang masih nggak mengerti kenapa saya nggak bisa melakukannya (membantu dia), tapi sepertinya ia juga bisa mafhum bahwa saya nggak bisa berbuat apa-apa dan seperti biasa saya hanya mampu mendengarkan keluhan-keluhannya saja. Tentu saja semua keluhan itu saya rekam dengan kamera foto saya yang kebetulan bisa dibuat video juga. video pendek-pendek yang kemudian ketika di Jakarta, saya perlihatkan ke teh nia.
Selesai mendengar keluhan Mira, saya ingin tahu kabar Nur dan bagaimana cerita detailnya hingga ia akhirnya berhenti jadi PSK dan membuka warung dekat rumah kontrakannya di daerah Ngujang.
Dengan agak berbisik, sebagai pembuka, Nur bercerita kalau ia pernah di’serang’ Mira. Mira melabraknya ke rumah dan sempat seperti agak meminta ‘jatah’ bagian dari Nur.
Ya begitulah. Setelah pada Desember 2008, Nur dan Mira ke Jakarta dan datang di Opening JIFFEST, liputan media tentang film PERTARUHAN dimana salah satu kisahnya adalah tentang kehidupan Nur-Mira yang saya pinjam untuk dibuat film, ternyata mendapat respon yang amat baik dari media. Hampir semua media besar memberitakannya. Film dokumenter yang masih berada di ranah pinggiran yang mulai dicoba dimasukkan ke ranah yang lebih popular. Diproduseri Nia Dinata, disutradarai 5 pembuat film muda (halah. Mau dungs muda…. Udah tuwir booooo!).
Kompas salah satu yang memberitakan. Mbak Nur dan Mira diwawancarai Mbak Ninuk langsung di tempat mereka menginap di daerah Prapanca. Wartawan senior Goenawan Mohammad pun turut menulisnya. Kehidupan si ‘pelacur’ Nur-Mira pun tertaruh di CATATAN PINGGIR-nya. (terima kasih pada semuanya).
Begitulah awalnya. Bermula dari berita dan tulisan, seorang ibu dari Surabaya yang membaca kompas dan semakin tergerak hatinya ketika melihat Catatan Pinggir, menghubungi wartawan kompas.com yang tinggal di Surabaya. Berdua, mereka kemudian mencari Nur ke Gunung Bolo.
Ditemani oleh teman dari CESMID, ibu yang baik itu pun bertemu muka dengan Nur. Ia menyewakan sebuah warung yang bisa dipakai Nur untuk berjualan. “Saya dikontrakan 1 tahun sama ibu dari Surabaya. Itu harga sewanya 2 juta.” Aku Nur. “Untuk modalnya, saya diberi 1,8juta. Itu langsung dibelanjakan buat barang jualan.” Dan sebagai konsekuensinya, Nur sekarang mengaku harus bangun lebih pagi karena harus mempersiapkan warung dan anaknya yang hendak sekolah. Ia juga merasa dituntut untuk lebih giat lagi dalam mengelola warungnya.
Tentu saja saya amat senang mendengarnya. Sama sekali nggak menyangka kalau film tersebut sedikit banyak bisa memberi efek positif pada subyeknya. Bukan soal sumbangan atau akhirnya Nur bisa keluar dari pelacuran seperti yang selalu ia impikan, tapi lebih ke ketakjuban saya terhadap Nur yang ternyata punya keinginan kuat untuk berubah. Lihat saja, ia bilang “Saya ingin mempertahankan warung saya”. Meski banyak warung di sekitar yang menjadi saingan, Nur bertekad untuk bertahan. Ia mau warung miliknya sekarang tetap ada sampai nanti-nanti. “Saya akan berusaha supaya modalnya nggak kemakan terus sama saya dan anak-anak, mbak ucu.” Ucapnya.
Di sesi Tanya jawab, Nur yang ditanya oleh para ibu dan anak muda di Malang pun tak lupa meminta do’a. “Doakan saya semoga berhasil ya…” ucapnya. Dan tentu saja, para ibu dan anak muda serta para aktifis dan beberapa pejabat itupun meng-amin-kan sambil berteriak “HIDUP MBAK NUR!”
tiba-tiba saya Jadi berasa lagi ada di demonstrasi pada sebuah ruas jalan ketimbang berasa di ruang studio21 ya boooooooo… Hehehe.
Penonton di Malang, selain amat membludak, juga amat spontan dan emosional.
*SETELAH SCREENING
Setelah film usai dan kredit title muncul di layar serta para sutarada dan mbak Mira Dyarsi yang menjadi perwakilan para mentor dan produser yang nggak bisa datang diminta ke depan, yang ingin saya lihat pertama adalah wajah Udin. Bagaimana reaksinya?
Saya lihat wajahnya nggak cerah. Ia terlihat masam. Seperti menahan sesuatu yang membuatnya tak enak tapi berusaha ia sembunyikan. Senyum kecut menghiasi wajahnya saat MC memberitahu bahwa selain Ruwati-Pak Yanto, ada juga Nur-Mira dan… Udin yang hadir di antara penonton.
Respon penonton begitu mendengar nama Udin adalah… MEREKA TERTAWA!
Sebuah kesan pelecehan dan sebal terkuar dalam tawa yang berkumandang. Saya mengerti respon itu dan agak sedikit kecut juga dibuatnya. Terhinakah Udin?
Tapi si preman bertubuh pendek itu dengan acuh berdiri, dan menoleh ke samping kiri, samping kanan dan depan serta belakang saat namanya disebut sang MC. Tepuk tangan dan tawa berbaur terus memenuhi studio hingga Udin duduk kembali.
Pertanyaan penting itu pun datang dari penonton. Seorang ibu berkerudung langsung menembak udin tanpa tedeng aling-aling. “Bagaimana perasaan mas Udin setelah melihat film tersebut? Apakah ada niat mau berubah?”
Waaaaaaa… saya ingin tahu banget apa jawabannya. Dan…
“Saya benar-benar teharu ya melihat film tadi. Ini pertama kali saya lihat film ini.” Ujar Udin lancar, dengan semu wajah yang masih agak tak enak. “saya sendiri belum tahu ke depannya mau bagaimana, tapi saya nggak menyangka ya, film ini menyentuh. Ya, tentu saja saya ingin berubah.” Dan tepuk tangan itu langsung menyambut Udin begitu ia selesai menuntaskan kalimatnya.
Saya nggak tahu bagaimana perasaan Udin sesungguhnya, tapi yang jelas, ketika ularan penonton bergegas menuju pintu “EXIT”, udin berdiri sambil menerima uluran-uluran tangan yang mengajaknya bersalaman. Selain Nur-Mira-Ruwati, Udin juga bagai artis, di hari tersebut.
Ini keduakalinya Nur dan Mira melihat dirinya di layar lebar. Bulan desember 2008 dan Mei 2009. Sudah ada perubahan yang signifikan di kehidupan Nur meski belum terjadi banyak perubahan di kehidupan PSK Mira. Sedang untuk teman dari CESMID dan Udin, inilah untuk pertamakalinya mereka melihat diri mereka di film tersebut.
“Mas Udin, nggak apa-apa ya?” Ucap saya agak sedikit khawatir ketika mendekati Udin. “Oh ya, Nggak apa-apa Mbak Ucu. Nggak apa-apa kok,” ucapnya.
“Itu kan kehidupan mas Udin yang saya rekam. Makasih juga lho udah mau jujur dan terbuka menjadi diri mas udin sendiri dan membagi dunianya ke orang luar,” ucap saya.
Bukan basa-basi, tapi terus terang, saya berterimakasih sungguhan. tanpa kesediaan Udin menandatangani release form, kisah itu tak akan muncul menyapa kita semua. memberi satu lagi sudut pandang tentang kehidupan masyarakat kelas bawah kita yang masih termajinalkan.
kepada saya, Udin berkali mengangguk-anggukan kepala menyatakan kalau ia biasa saja dannggak marah. Beberapa kali juga, kemudian kami berfoto bersama. Saya-Nur-Mira-Udin dan teman-teman CESMID.
Saya sendiri senang, karena pada akhirnya, meski para penonton tahu bahwa dalam relasi di prostitusi, Udin adalah orang "jahat" tapi para penonton juga melihat dia sebagai korban. Udin dan para preman adalah korban dari sistem yang masih nggak berpihak sama rakyat pinggiran yang nggak punya modal dan pendidikan. sistem 'corupt' yang menciptakan person-person yang corupted pula. sistem rusak, penghasil individu rusak. selain sebagai korban, para aktifis yang hadir di pemutaran di malang juga berpikir bahwa udin dan teman-temannya adalah juga kelompok yang harus diadvokasi terus-terusan. selain para mbak-mbak yang bekerja jadi PSK, tentu saja.
“Tapi kalau diputar di layar tancap dan terbuka untuk umum di Tulungagung, wah saya masih agak ngeri mbak ucu,” ucap salah satu teman CESMID. “ngeri respon dari para preman lain di Bolo yang nggak bisa terima, juga ngeri respon para birokrat yang nggak punya akal panjang. Ntar jangan-jangan, langsung main tutup-tutup dan berantas tempat pelacuran saja!”.
Tapi meski begitu, teman ini pun merekomendasikan dan meminta untuk boleh memakai film PERTARUHAN sebagai alat diskusi bersama dengan para pejabat pemda. “tertutup saja,” ucapnya.
“Ya, ya… tentu saja!” saya menyambutnya antusias. Siang itu kami makan bersama. Di Mall MATOS saja. Saya terus bercakap dengan Nur dan Mira serta mencari tahu beberapa kondisi yang terjadi di Tulungagung belakangan melalui teman-teman CESMID dan KPA serta FHI.
Setelah makan siang dan mengantar Mbak Mira ke bandara, Sabtu siang itu juga, kami berangkat kembali dari Malang menuju Jakarta. Di perjalanan, kepada Ifa dari CESMID saya mengirim pesan: “Jeng, makasiyh ya untuk segala bantuan dalam pembuatan Ragat’e Anak. Tanpamu dan kerjasama kita, pasti gue akan sulit membuatnya. Semoga ada manfaat-nya lah itu film buat kita semua.” Ifa membalas dengan mengucapkan hal yang sama, “Pasti ada manfaatnya, dan semoga ke depannya akan lebih baik lagi. Sukses ya… “ Saya bernafas lega. Di Malang, ternyata kami tak bernasib malang… hehehe.
Tapi eits…!! Rupanya pesta belum usai, dampak pemutaran belum sepenuhnya selesai. SMS itu datang. Jam 18:34:32 sewaktu gelap mulai menyergap di perjalanan malang-jakarta. Dari Udin yang menyatakan protesnya: “Mbak, isinya amplop kok tidak sama? Tolong aku diisikan pulsa toh. Masak selisihnya setengahnya!”
Oala… Udin, Udin!
Emang dasar ya…
Ck, Ck!
Dia memang tidak masuk dalam daftar undangan dan tanpa koordinasi begitu saja turut ikut dalam rombongan. Amplop untuk dia sebagai narasumber memang sepertinya tidak dipersiapkan. Untuk Udin, kalau tidak salah dengar, orang CESMID bilang "Ya kasih saja itung-itung ganti uang transport, gitu..."
Dan memang begitulah ceritanya. Sepertinya tim line-prduser memang hanya “itung-itung mengganti transportnya saja’. Tetapi oh tetapi… Oalahhhhhh…. Udin, Idin.
Ck, ck.
Ahahahaha.
Yah, begitulah!
Post Title
→BERTEMU KEMBALI NUR, MIRA dan UDIN... *Tour Malang, Part-
Post URL
→https://gallerygirlss.blogspot.com/2009/05/bertemu-kembali-nur-mira-dan-udin-tour.html
Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls