Powered by Blogger.

Catatan Tentang Piknik Yang Tak Menyenangkan IV



    Mereka berdua berada tepat di tengah taman. Sebelah barat lahan parkiran, sebelah timur kerumunan keluarga yang sedang makan si di resto franchise, sebelah selatan danau yang berkeriyap menyilaukan sedangkan sebelah utara adalah hutan yang akan dituju si lelaki—tempat mereka rencananya akan menghamparkan karpet plastik tipis, nanti.

    Bila dilihat dari tempat di mana jejeran warung franchise berada, cara Rosa dan sang lelaki berdiri, cukup menggelikan dan mencuri perhatian. Sejak keluar dari lahan parkiran, tepat di tengah taman, kedua orang yang tiba-tiba berhenti berjalan itu tampak seperti patung. Diam membatu dengan posisi yang tak berubah. Tangan kiri si Lelaki membawa karpet plastik tipis sedang tangan kanannya membawa radio kecil yang rencananya akan diputar untuk menambah manis kegiatan piknik. Dan lihatlah si perempuan… Ia membawa keranjang piknik ukuran sedang di tangan kanan dan tangan kirinya cuma melenggang dengan telapak yang sesekali terkepal.

    Hening…

    “Kayaknya kita bukan patung, deh. Kok diam saja begini, sih?” Ada suara dengan bendera putih tanda damai yang menyembul keluar dari intonasi kalimat yang diucapkan Rosa, setelah sekian lama keduanya terdiam. Sebersit kesadaran bahwa acara piknik siang itu merupakan rangkaian dari perayaan ulang tahun sang pacar, membuat Rosa berusaha tidak terlalu egois dan melumerkan emosinya. “Sebenarnya kamu mau ajak aku kemana sih?”

    Wajah perempuan di hadapannya kini terlihat seperti matahari sore yang melembut. Lelaki itu menarik nafas lega, diam-diam. Ia sungguh tak suka suasana kaku tak nyaman yang muncul di luar skenarionya, barusan. “Ngomong kok kebanyakan sih, sih? Nggak bisa yah kalau nggak pake sih?” Lelaki itu sengaja mencibir. Ia tahu, Rosa suka dan paling nggak tahan kalau digoda.

    “Apaaaaan sih? Nggak penting banget deh ih, komentarnya!” Senyum di bibir Rosa mulai mengembang.

    Andai saja Rosa adalah gadis lain yang pernah juga diajaknya ke tempat itu pada suatu week end yang lain, maka sebuah cubitan kecil manja pasti turut mendarat entah di lengan atau paha lelaki itu. Tapi tentu saja Rosa bukan gadis itu, dan salah satu alasan lelaki tersebut meninggalkan gadis lain tersebut adalah hal itu. Alasan konyol yang masuk akal, sebenarnya. Lelaki itu tak suka bila kulit lengan atau pahanya terkelupas dan lecet. Lagian, gadis lain itu tak menyukai puisi. Tak mengenal Pablo Neruda, tak mengetahui Ayu Utami atau Seno Gumira Ajidarma. Dan yang paling parah, gadis lain itu mengira Haruki Murakami adalah manajer restoran Hanamasa yang terakhir buka cabang di Jakarta. Eewwww… Mengerikan bukan?

    Tapi Rosa…

    Langit yang sejak tadi agak gelap mencurahkan hujan dingin tiba-tiba yang merintiki mereka. Seguratan benda cair menetes dari ketinggian, menghinggapi pipi pualam Rosa. Membuat perempuan itu melepas kacamatanya, menengadah ke langit dan menjumpai selarik awan bersisik yang mengingatkannya pada puisi yang dikutip Neil Geiman dalam novel Stardust. Mackerel sky/ Mackerel sky/ Not Long Wet/ Not Long Dry…* Ya, ini pasti gerimis yang sebentar.

    Dan lelaki itu terpana. Entah puisi lembut yang dirapal Rosa dalam hati ataukah posisi wajah Rosa yang mendongak dan memperlihatkan leher putihnya yang jenjang yang membuat desiran itu tiba-tiba muncul ke permukaan, begitu saja menghadirkan denyar birahi di dada si lelaki. Membuatnya ingin menggumuli sang pacar saat itu juga di bawah hujan.

    Sekali dalam hidup, tak apa bila kita melakukan secara spontan apa yang kita inginkan, demikin batin si lelaki. Dan begitu saja benar-benar dilepaskannya radio di genggaman tangan kanan. Dibuangnya karpet plastik tipis dari genggaman tangan kiri. Ditubruknya Rosa yang masih menghadapkan wajah ke langit sana. Diciuminya leher perempuan itu seakan ia tak pernah mencium bagian tersebut sebelumnya. Digapainya bibir Rosa yang berusaha berontak tapi kemudian terdiam setelah lelaki itu memeluknya lebih erat. Birahi liar yang diendus Rosa dari dengus nafas lelakinya, membuat perempuan itu tahu bahwa menikmati saja moment tersebut adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat itu.

    Untuk pertama kalinya, mereka berciuman di tempat umum. Dalam hujan sebentar yang dingin, tepat di tengah taman. Jantung lelaki itu berdebar hebat dan dadanya membengkak seakan tak cukup besar untuk memuat semua perasaan yang saat itu ingin ditampungnya. Dan saat ia membuka mata seraya mencium kembali bibir Rosa, mata hitam perempuan itu balas menatapnya. Dan dalam mata itu si lelaki tak bisa membayangkan untuk berpisah darinya….



    __________________

    *Puisi ini adalah salah satu puisi weather lore (cerita rakyat tentang cuaca), untuk meramalkna cuaca. Pola langit yang mirip sisik ikan Mackerel, berupa awan-awan sirus yang panjang dan seperti benang-benang halus, menandakan bahwa sistem bertekanan rendah yang membawa kelembaban sedang mendekat. Ini biasanya berarti meningkatnya laju angin, awan dan hujan 24 jam kemudian.

Post Title

Catatan Tentang Piknik Yang Tak Menyenangkan IV


Post URL

https://gallerygirlss.blogspot.com/2007/09/catatan-tentang-piknik-yang-tak_8134.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls
Cpx24.com CPM Program

Popular Posts

My Blog List

Blog Archive

Total Pageviews