Dia Ingin Bertemu Peri
Oleh: Ucu Agustin
Langit masih merah kala Nenek mengatakan padaku hal Itu,
"Peri bersemayam di sana, mengandung di akal kesepuluh, Bergelantungan
meniti lembab udara" Ku tatap angkasa, sesuatu membersit di udara.
"Itukah peri itu Nek?" Tanyaku dengan jenaka.
"Yang kau lihat tadi adalah asap, sekelompok unsur yang tergusur. Sesuatu yang berubah rupa kala api menyulut benda dengan bara" Nenek menjawab sambil membenarkan selendangnya yang terjuntai.
"Tapi mereka yang tadi ku tunjukk juga kelihatan meski tak tampak benar" Aku ngotot, ingin sekali saja mendapat pengakuan bahwa yang ku lihat tadi adalah peri sungguhan.
"Peri menampak, Mereka juga memang menjelma"
"Iya! Dan kini mereka memang menjelma!" Aku berteriak girang sambil mengunjuk udara. Aku baru saja melihatnya! Melihat asap-asap itu berubah rupa, membentuk wujud, mengelola bayang menjadi sesuatu yang berbadan dan melayang. Asap-asap itu menari di depanku. Aku Bahkan mendengar renyah tawanya diantara angin sepoi yang menggelontor. Tidak persis seperti Tinkerbel dalam kisah Peter Pan, tapi sungguh! Peri-peri itu bisa melayang.
"Nenek, mereka mengajakku terbang!" Aku menggelandut pada tangan nenek yang keriput.
"Mereka mengajakku mengembara di udara, mengelilingi semesta" Aku semakin menjadi, tangan Nenek ku tarik-tarik sambil tertawa-tawa ceria. Tapi Nenek rupanya tak senang, ia mencoba berargumentasi denganku.
"Dengan apa kau akan terbang?" Tanyanya ingin tahu.
"Bukan dengan sayap, tentu" Ucapku sambil tak henti mengunjuk ke arah mereka, sekelompok manusia berwajah teduh tapi membara, menggantung di udara sambil terus bercanda, mereka juga menggodaku dan mengajak tertawa.
"Dengan apa kau akan bersisian dengan mereka?" Tanya Nenek lagi.
"Dengan akal dan pikiran, Nek!" Ucapku sambil tak putus memandang mahluk ajaib yang kadang tampak benar, kadang hilang menipis halus namun tak pupus.
"Terangkan padaku bagaimana bisa badanmu disini, membatu atau terkadang membantuku belanja di pasar lalu pikirmu kau sedang terbang?" Nenek menatap mataku tajam.
"Ah Nenek, tentu saja karena pikiran memiliki jiwanya sendiri. Karena tiap sesuatu memiliki kemampuan berdasarkan keyakinan, mimpi dan harapan. Nenek percaya itu bukan?" Jawabku sambil lalu, sedang mataku terus mengawasi mereka yang bergelinjangan berjalan di antara tanah dan awan-awan.
Diatas kendaraan yang diterbangkan angin, peri-peri itu menawariku aneka selendang. Mereka juga mengerlingkan matanya, memberi tahu kalau aku mau, mereka bisa menganugerahkan sayap padaku. Tapi Nenek rupanya tahu, secepat kilat ia membalikkan badannya, memunggungiku dan memandang angkasa, mencoba menerka dengan siapa tadi aku melakukan komunikasi, bertukar kata di alam telepati.
"Nenek jawablah aku! Karena bila yang kau kira asap itu adalah memang peri, aku tentu akan pergi. Karena kau tahu, aku sangat ingin bertemu peri. Karena mereka pasti baik sepertimu, lengannya pasti besar dan memiliki banyak lemak sehingga bisa menghangatkanku saat salju mencucuk. Mampu melembabkan kulitku saat panas meranggas" Lalu tanpa sebab Nenek merangkulku, pada pundak kecilku ia tersedu.
"Tetaplah disini, karena akulah perimu, yang akan menghangatkanmu dan
ada selalu kalau kau membutuhkanku". Aku terperanjat, sejak kapan Nenek mau mengakui dirinya peri?
Dahulu saat aku lebih kecil lagi dari kini, Nenek selalu menceritakanku tentang dongeng dewa-dewi dan para peri. Dengan para dewi aku tak terlalu bernafsu untuk bertemu, karena konon katanya mereka juga seperti aku. Para dewi adalah juga manusia perempuan, hanya saja cantik dan baik hati, menganugerahi manusia dengan aneka kebaikan. Mereka tinggal di suatu tempat yang tinggi, meski kadang manusia tertentu bisa melihat tempat tinggal mereka dan menyaksikan para Dewi itu bila sedang bergerombol mandi dibawah pelangi. Kalau aku baik hati, kelak aku bisa menjadi dewi. Namun para peri? Oh…. Nenek bilang mereka punya sayap, mereka tak pernah tua, kerjanya hanya berguyon dan memberikan kesenangan serta ilham bagi manusia. Kata Nenek pula, mereka berasal dari ras yang berbeda. Hanya orang-orang yang benar-benar beruntung saja yang akan ditemui oleh mereka. Orang-orang yang berhasil memeras darah merahnya lalu menjadikan pusat debar hidupnya menjadi jernih, merekalah orang-orang yang berhati putih.
Itulah mengapa aku selalu berusaha berbuat baik, karena aku ingin menjadi orang yang beruntung. Karena aku ingin bertemu peri-peri yang konon berjalannya seperti menggantung.
Kalau saja tidak setiap hari Nenek meyakinkanku bahwasannya peri itu beda dan bukan berasal dari spesies manusia, sudah lama aku mengira Nenekkulah peri tersebut. Karena ia begitu baik hati dan lembut. Namun Nenek selalu bilang tidak, katanya tentu saja dirinya bukan peri, karena ia menginjak bumi dan sekalipun tak pernah bisa melayang. Tapi kini Nenek berubah pikiran. Ia mewujudkan mimpi yang selama ini selalu aku kejar.
Dengan lengan kecilku, ku peluk tubuh Nenek. Berusaha mengusap airmata yang beterjunan turun merambat di pipinya yang keriput. Ya! Aku akan tetap disini, Aku tak ingin lagi pergi ke alam itu, karena telah lama ternyata aku sudah tinggal bersama dia! Bersama Nenek! Periku yang nyata, yang tak akan mampu bisa terganti dengan peri di alam mimpi. Peri-peri yang selalu diceritakan Nenek dulu, hampir setiap hari.****
akhir oktober 2002,
Penghujung oktober, tadi pagi.
Oleh: Ucu Agustin
Langit masih merah kala Nenek mengatakan padaku hal Itu,
"Peri bersemayam di sana, mengandung di akal kesepuluh, Bergelantungan
meniti lembab udara" Ku tatap angkasa, sesuatu membersit di udara.
"Itukah peri itu Nek?" Tanyaku dengan jenaka.
"Yang kau lihat tadi adalah asap, sekelompok unsur yang tergusur. Sesuatu yang berubah rupa kala api menyulut benda dengan bara" Nenek menjawab sambil membenarkan selendangnya yang terjuntai.
"Tapi mereka yang tadi ku tunjukk juga kelihatan meski tak tampak benar" Aku ngotot, ingin sekali saja mendapat pengakuan bahwa yang ku lihat tadi adalah peri sungguhan.
"Peri menampak, Mereka juga memang menjelma"
"Iya! Dan kini mereka memang menjelma!" Aku berteriak girang sambil mengunjuk udara. Aku baru saja melihatnya! Melihat asap-asap itu berubah rupa, membentuk wujud, mengelola bayang menjadi sesuatu yang berbadan dan melayang. Asap-asap itu menari di depanku. Aku Bahkan mendengar renyah tawanya diantara angin sepoi yang menggelontor. Tidak persis seperti Tinkerbel dalam kisah Peter Pan, tapi sungguh! Peri-peri itu bisa melayang.
"Nenek, mereka mengajakku terbang!" Aku menggelandut pada tangan nenek yang keriput.
"Mereka mengajakku mengembara di udara, mengelilingi semesta" Aku semakin menjadi, tangan Nenek ku tarik-tarik sambil tertawa-tawa ceria. Tapi Nenek rupanya tak senang, ia mencoba berargumentasi denganku.
"Dengan apa kau akan terbang?" Tanyanya ingin tahu.
"Bukan dengan sayap, tentu" Ucapku sambil tak henti mengunjuk ke arah mereka, sekelompok manusia berwajah teduh tapi membara, menggantung di udara sambil terus bercanda, mereka juga menggodaku dan mengajak tertawa.
"Dengan apa kau akan bersisian dengan mereka?" Tanya Nenek lagi.
"Dengan akal dan pikiran, Nek!" Ucapku sambil tak putus memandang mahluk ajaib yang kadang tampak benar, kadang hilang menipis halus namun tak pupus.
"Terangkan padaku bagaimana bisa badanmu disini, membatu atau terkadang membantuku belanja di pasar lalu pikirmu kau sedang terbang?" Nenek menatap mataku tajam.
"Ah Nenek, tentu saja karena pikiran memiliki jiwanya sendiri. Karena tiap sesuatu memiliki kemampuan berdasarkan keyakinan, mimpi dan harapan. Nenek percaya itu bukan?" Jawabku sambil lalu, sedang mataku terus mengawasi mereka yang bergelinjangan berjalan di antara tanah dan awan-awan.
Diatas kendaraan yang diterbangkan angin, peri-peri itu menawariku aneka selendang. Mereka juga mengerlingkan matanya, memberi tahu kalau aku mau, mereka bisa menganugerahkan sayap padaku. Tapi Nenek rupanya tahu, secepat kilat ia membalikkan badannya, memunggungiku dan memandang angkasa, mencoba menerka dengan siapa tadi aku melakukan komunikasi, bertukar kata di alam telepati.
"Nenek jawablah aku! Karena bila yang kau kira asap itu adalah memang peri, aku tentu akan pergi. Karena kau tahu, aku sangat ingin bertemu peri. Karena mereka pasti baik sepertimu, lengannya pasti besar dan memiliki banyak lemak sehingga bisa menghangatkanku saat salju mencucuk. Mampu melembabkan kulitku saat panas meranggas" Lalu tanpa sebab Nenek merangkulku, pada pundak kecilku ia tersedu.
"Tetaplah disini, karena akulah perimu, yang akan menghangatkanmu dan
ada selalu kalau kau membutuhkanku". Aku terperanjat, sejak kapan Nenek mau mengakui dirinya peri?
Dahulu saat aku lebih kecil lagi dari kini, Nenek selalu menceritakanku tentang dongeng dewa-dewi dan para peri. Dengan para dewi aku tak terlalu bernafsu untuk bertemu, karena konon katanya mereka juga seperti aku. Para dewi adalah juga manusia perempuan, hanya saja cantik dan baik hati, menganugerahi manusia dengan aneka kebaikan. Mereka tinggal di suatu tempat yang tinggi, meski kadang manusia tertentu bisa melihat tempat tinggal mereka dan menyaksikan para Dewi itu bila sedang bergerombol mandi dibawah pelangi. Kalau aku baik hati, kelak aku bisa menjadi dewi. Namun para peri? Oh…. Nenek bilang mereka punya sayap, mereka tak pernah tua, kerjanya hanya berguyon dan memberikan kesenangan serta ilham bagi manusia. Kata Nenek pula, mereka berasal dari ras yang berbeda. Hanya orang-orang yang benar-benar beruntung saja yang akan ditemui oleh mereka. Orang-orang yang berhasil memeras darah merahnya lalu menjadikan pusat debar hidupnya menjadi jernih, merekalah orang-orang yang berhati putih.
Itulah mengapa aku selalu berusaha berbuat baik, karena aku ingin menjadi orang yang beruntung. Karena aku ingin bertemu peri-peri yang konon berjalannya seperti menggantung.
Kalau saja tidak setiap hari Nenek meyakinkanku bahwasannya peri itu beda dan bukan berasal dari spesies manusia, sudah lama aku mengira Nenekkulah peri tersebut. Karena ia begitu baik hati dan lembut. Namun Nenek selalu bilang tidak, katanya tentu saja dirinya bukan peri, karena ia menginjak bumi dan sekalipun tak pernah bisa melayang. Tapi kini Nenek berubah pikiran. Ia mewujudkan mimpi yang selama ini selalu aku kejar.
Dengan lengan kecilku, ku peluk tubuh Nenek. Berusaha mengusap airmata yang beterjunan turun merambat di pipinya yang keriput. Ya! Aku akan tetap disini, Aku tak ingin lagi pergi ke alam itu, karena telah lama ternyata aku sudah tinggal bersama dia! Bersama Nenek! Periku yang nyata, yang tak akan mampu bisa terganti dengan peri di alam mimpi. Peri-peri yang selalu diceritakan Nenek dulu, hampir setiap hari.****
akhir oktober 2002,
Penghujung oktober, tadi pagi.
Post Title
→DIa Ingin Bertemu Peri...
Post URL
→https://gallerygirlss.blogspot.com/2004/07/dia-ingin-bertemu-peri.html
Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls