Gadis itu tak sedang menatap langit, ia hanya menghirup bau itu.
Dia Eligio, dan aroma kopi pahit mengingatkanny pada cinta tak berbalas… cinta untuk seorang lelaki asing yang pernah membuat langkah gadis itu seolah imun terhadap gravitasi. Setiap kali ia mengingatnya, gadis itu maunya melayang saja. Tak butuh jamur psilocybe, tak butuh LSD. Dalam hati ia selalu berharap, lelaki asing itu bukan sore: indah dan cepat berlalu. Andai mimpi boleh diminta untuk benar-benar terjadi, ia mau lelaki asing itu jadi udara: selalu berada di sekitarnya, masuk ke dalam darah, mendengar apa yang dirasa dan dipikirkannya; semuanya tentang si lelaki asing yang telah menyebarkan atmosfir irrasional di belukar rasa yang tumbuh di dada, hati dan kepalanya.
Semua orang bertanya,
Eligio, Eligio, seperti apakah dia rupanya? Lelaki asing yang dipujanya.
Eligio menjawab hanya dengan pandangan, dan di sana orang-orang bisa melihat sesuatu yang hidup dan bergerak. lelaki itu bukan anak peri, ia bukan pula kecintaan para malaikat, lelaki itu bercacat, dan senyum manisnya tidak menggoda, wajah dengan senyum kacau nakal itulah yang justru selalu diingat Eligio, bukan senyum milik Lucifer, bukan kenakalan kepunyaan para cherubim atau kecerdasan khas seraphim, tapi sungguh-sungguh cuma senyum kacau nakal anak lelaki biasa, yang menarik hati Eligio untuk terfokus terus pada lelaki yang tak dikenalnya: bocah besar biasa yang tak sempurna. manusia tak sempurna seperti dirinya.
Eligio memang berbeda, itu yang dilihat orang-orang dari anak perempuan tersebut. Semua orang tentu suka kesempurnaan, tapi Eligio berpikir kenapa harus menangis bila bibirmu sumbing atau jerawatmu terus tumbuh di pipi dan kau pikir itu yang membuatmu tak mendapat sepotong kekasih. Kekasih bukan donat manis penuh taburan gula, sayang… kekasih juga manusia biasa, bilapun ia tak memiliki semua yang kau inginkan, pasti ada satu hal yang dalam dirinya adalah yang kau cari dan rindukan. Mungkin itu sekeping dirimu, yang menyelip dalam salah satu katup jantungnya, mungkin itu sesesah nafasmu yang suatu hari pernah hampir terambil tapi ia sempat selamatkan, atau mungkin ia cuma belahan jiwamu saja yang sudah tiba waktunya untuk datang saat kau pikir cinta cuma sebuah perkara muskil.
Eligio, eligio… berapakalikah kau bertemu dengannya?
Eligio, eligio… cintakah kau padanya?Kepada orang-orang yang bertanya,
Eligio bilang, lelaki asing itu adalah ruh: cuma sekali ia temui, tapi masuk begitu saja ke tubuh kosong serupa lorong yang belum berpenghuni dalam dirinya, tinggal selamanya di sana. Dan ya, aku cinta padanya. Begitu Eligio menjawab.
Eligio, eligio… bagaimana kalau ia pergi?
Eligio, eligio… seperti apakah rupa cintamu padanya?Sabar, tenang, tapi tak berminat tersenyum sopan, Eligio yang beranjak dewasa mengatakan bila ruh itu pergi darinya, sesuatu yang bundar besar akan meninggalkan lobang di dadanya. Tapi mengertikah kalian tentang makna kosong? Lubang tak berarti apa-apa, ia masih tetap bisa ada isinya meskipun telah tak ada apa-apalagi di sana, sama halnya seperti penuh, yang sesungguhnya bisa jadi tak ada apa-apa lagi meski dengan mata telanjang kita melihatnya masih sempurna ada di sana. Jadi bila lelaki asing pergi meninggalkannya, eligio akan mendoakan hari-hari baik buatnya. Seperti hari-hari yang semuanya tampak jadi baik saat si lelaki asing berada dalam ingatannya.
Dan mau tahukah kau seperti apa cintaku itu? Cinta tak terbalas yang meski membuatku sedih, tapi aku bisa positif dan acuh-acuh saja menanggapinya? Eligio bertanya diplomats sambil menatap para penanya yang tak ada di depannya.
Akulah cinta yang bergairah dan tak terkontrol itu… Tidak rasional dan tak terukur. Cinta yang liar dan sueralis. Cinta yang sangat politis dan mempertimbangkan banyak hal dalam memahaminya. Cinta yang layak ditabur seorang lelaki asing yang sedang berziarah. Cinta yang didapat Eligio, aku, dalam waktu-waktu yang sengaja tak ingin dikontrolnya. Angin bertiup.
Bintang jatuh.
Waktu berangkat.
Orang-orang diam dan ada juga yang minggat.
Di dada Eligio kini pokok pemahaman itu bersamayam:
salah satu kebaikan dari hidup yang jarang dihitung adalah ketikan ia memberikan rasa sakit. Rasa sakit yang tulus, hingga kau mampu menghayatinya dan melihat bahwa sakit adalah teman. Dan meski ia bukan guru yang cukup baik untuk mengajarkan kebijakan, tapi kau akan terharu dengan bagaimana cara kerja rasa sakit yang mengajarimu untuk bertahan. Sekali kau mampu melalui rasa sakit karena cinta, maka kau akan kuat untuk mengahadapi rasa sakit macam apapun kelak. Itu yang kemudian gadis itu pahami dengan mencintai lelaki asing surreal yang bagai angin: datang dan pergi dengan suasana sejuk dingin. Ada juga hangat, dan itu masih melekat. Menempel tanpa tanggal kadaluarsa. Terselip di desir darah dan ingatan Eligio yang menggumpal lembut.
Lelaki asing itu telah pergi. Eligio yang menapak dewasa memahami kesedihan sebagai sesuatu yang wajar dari konsekuensi ketiadaan. Dan suatu hari, bila tak sengaja ia bertemu lagi dengan lelaki asing yang tak membalasa cintanya, Eligio telah berjanji…
Ya, bila kita ketemu lagi nanti, aku akan menjadi sehangat kawan lama… bertanya apakabar Yeni anjingmu, tertawa saat kau cerita tentang pacar barumu. Aku janji.***