Dia tamu yang berjanji datang melalui telephone selular. Anak lelaki manis yang mampir dari Paris. Karena imajinasi saya belakangan dipenuhi sosok vampire muda keren-gelap-kelam Edward Cullen, maka biarlah imajinasi ini berbiak. Karena ini tahun 2009! Dan rasanya senang saja, di tahun kerbau ini kepala saya masih bisa memiliki imajinasi.
Dia hampir menyerupai Edward, namun nggak seperti Edward yang bisa membaca pikiran orang, dia nggak mampu melakukan itu dan bahkan dia juga nggak akan bisa membaca catatan ini di sini. Karena ia sudah memilihnya: ia menolak untuk menjadi member FaceBook.
Rasanya agak aneh juga melihat resistensi dia terhadap ‘sesuatu’. Tapi itulah yang justru bikin dia jadi unik dan menarik. Di jaman dimana kita rasanya malah menjadi konyol ketika masih berusaha mengelak dari hempasan ombak globalisasi, apa enaknya menjadi ‘penyepi’ yang anti?
Ahaha, tentu saja saya sebenarnya tambah kagum (saya amat mudah dibuat kagum, kok) melihat ‘ketegaran’nya berdiri di atas menara gading pilihan-pilihannya. Bahkan untuk yang paling sederhana kayak memilih bilang ‘nggak’ untuk FaceBook—dan saya tahu (tahu saja. meski tentu tidak tahu detailnya seperti apa), dia juga pasti telah banyak berkata ‘tidak’ untuk banyak hal dan apa-apa yang telah dipilihnya dalam hidup.
Apa sih coba bahayanya Facebook? Selain nyandu dan tak jarang bikin saya berasa kayak orang bego yang menggelikan dan terus menanti update informasi yang tertulis di wall, FB malah bisa membuat saya dengan bebas melirik-lirik ‘bilik rumah orang’ tanpa harus menggedor pintu untuk memaksa masuk. Hihihi.
Namanya juga ruang maya, sudahlah… kalau alasannya cuma ngeri rahasia dan hal private jadi nggak terjaga, ya jelas itu konyol juga. sejak yahoo nyelonong menawarkan petak-petak rumah maya yang beralamat di cyberspace dan google menjadi raja ‘pelacak’ di dunia, membeli youtube, myspce, dll… rasanya sejak saat itu, data kita sudah terekam di pita yang begitu amat panjang dan abadi. Pita yang saking panjangnya, mungkin akan membuat guiness book of record ngeri untuk memberi semacam catatan record atasnya. Karena tiap hari pita itu bertambah panjang dan semakin panjang saja. Sebuah pita yang bukan pita seluloid, bukan pula pita untuk perekam suara, tapi pita data yang membuat kita akan tetap tercatat di sana meski telah meninggalkan dunia fana ini.
Ahahaha, sekarang mari kita kembali lagi ke tamu manis saya dari Paris. Tamu yang ditemukan pada penggalan akhir perayaan tahun baru 2009 di sebuah cityloft. Teman lama yang telah berubah menjadi lelaki dewasa, penuh kontrol atas dirinya, sebentar lagi akan menjadi doctor di bidang sastra, dan baru saya sadari kalau ia ternyata memiliki audio yang amat enak dan empuk (kemana saja saya selama ini?).
Seperti Edward, ia terlihat tenang, diam di ‘permukaan’, berkabut aura ‘tertutup’, berwajah lembut-indah-bahkan cenderung cantik kayak perempuan (secara visual dia androgin dan itu membuatnya amat mudah untuk disukai lekai-laki dan perempuan hanya dengan memandangnya saja), menggandrungi sastra, masih muda, amat rakus akan pengetahuan, vegetarian, berkulit kuning pucat, mengambil pilihan-pilihan nyeleneh, memiliki kepala yang dipenuhi belantara bahasa.
Dinihari dalam perjalanan pulang dari perayaan tahun baru, di mobilnya yang berwarna sepekat malam, si tamu dari Paris bercerita tentang warna. Kali ini pembahasannya adalah hitam. Dari salah satu buku yang telah dibacanya, ia memberitahu saya kalau belakangan berkembang teori tentang hitam itu ternyata bukan warna (argumennya harus dia sendiri yang menerangkan kayaknya. Saya lupa dan ngeri salah juga. argumennya bagus banget sih). Dan ia kerap geli melihat cara anak-anak muda saat ini mendefiniskan warna itu. Anak muda yang doyan pakai hitam-hitam supaya dibilang gothic, gelap, dan misterius. Tapi baiklah, sebenarnya bukan ini inti cerita dari kedatangan si tamu dari Paris ini…
Tamu muda saya dari Paris ini adalah calon doctor di bidang sastra. Ketika mengambil study S2 (koreksi kalau salah ya M…), thesisnya adalah tentang perbandingan antara puisi Chairil Anwar dan Reiner Maria Rilke. Thesisnya itu sempat dipadatkan dan dimuat di Jurnal KALAM meski dengan bahasa yang masih amat terasa ‘ngampus’ dan kaku khas kriteria bahasa akademika.
Nah, itulah tali merah penghubungnya. Dia calon doctor sastra dan kata orang-orang, saya juga kadang menulis sastra. Maka bertemu lagi dengannya seolah menguak satu sisi saya yang selama tahun 2008 agak tersingkirkan ke sisi belantara lain diri saya. Tahun 2008, adalah tahun dimana jemari saya sedikit menulis cerita dan dunia saya dipadati bahasa visual (di dunia ini saya masih terus dan sedang belajar)
Tentu saja di tahun 2008 saya juga menulis. Menjadi redaktur tamu di sebuah majalah wanita (meski cuma mewajibkan saya menulis 2-3 tulisan di tiap edisinya dan nggak harus ngantor) adalah cara saya untuk tetap berdekatan dengan dunia tulisan. Dengan demikian saya dituntut untuk selalu menulis. Tapi tentu saja bukan tulisan artikel atau liputan khas jurnalistik seperti itu yang saya maksudkan sebagai tulisan yang nggak bisa saya hasilkan di tahun 2008. Tahun dimana saya merasa jemari saya patah, imajinasi saya seperti termutilasi dan tak memiliki kaki untuk melangkah, tak lagi memiliki kepala untuk berpikir liar dan brutal, menciptakan imajinasi-imajinasi yang menggerakkan jemari. Tahun 2008, cuma 3 cerpen saja yang saya hasilkan. Payah! Itu pun cuma cerita pendek dengan kualitas yang amat biasa saja…
Tahun 2008 bagi saya adalah tahun yang berjejalan dengan bahasa visual. Januari 2008, dokumenter ‘PEREMPUAN: KISAH DALAM GUNTINGAN’ tuntas dikerjakan. Mei 2008 ‘YANG BELUM USAI’ masuk ke kompilasi 9808. Dan sejak Juni 2008, rasanya jemari ini sudah mulai patah. Tak satu kisah pun saya tulis. Pra-riset, riset lanjutan, riset visual dan riset pra produksi untuk pencarian karakter dan pengembangan cerita di lapangan, schedule shooting dan produksi, lantas post produksi dan promosi film dokumenter PERTARUHAN, adalah kegiatan fisik dan pikiran yang menyita waktu saya di tahun 2008 (Saya belajar banyak dari proses ini tentu saja. Amat banyak! Tengs Nia Dinata dan Oom Abduh!)
So, ketika saya berjumpa tamu dari Paris, sejumput oase rasanya saya dapatkan. Lelaki muda yang manis itu memberi setetes air pada gelegak dahaga yang sering membuat kerongkongan saya tercekat kehausan. Berbincang dengan dia tentang sastra dan perkembangannya di dunia akademika yang tak saya ketahui, membuat saya merasa sedikit mendapat celah untuk mengintip dunia yang kadang saya diami di dalamnya.
Dibanding saya, tentu saja pengetahuannya di bidang ini jauh lebih luas dan berlapis. Dia memang belajar sastra bukan? Maka tentu saja ia tahu dan mengerti bagaimana sastra di Indonesia sini dan dia juga paham perkembangan sastra di belahan dunia sana. Meski dia mengaku, “nggak gitu mengikuti perkembangan sastra indonesai saat ini”, tapi dalam hati saya bergumam “it’s ok M… kalau kamu nggak tertarik dengan perkembangan sastra dan dunia kepenulisan di Indonesia sekarang, ya nggak apa-apa”, toh dia kelak akan menjadi kritikus sastra bukan? Kritikus atau pengkaji sastra rasanya memang lebih terdengar bagus dan berwibawa bila mengapresiasi dan mengkaji sastra-sastra klasik. Sesuatu yang dianggap tinggi, sering diperbincangkan di diskusi, tapi nggak lagi jadi perhatian atau bahan gossip di kehidupan kebanyakan orang jaman kini.
Bagi calon kritikus sastra atau dosen sastra macam dia, ya tentunya nggak jadi soal bila nggak terlalu mengikuti perkembangan, sedang bagi penulis seperti saya, melihat kecenderungan arah gerak bandul jaman adalah hal yang setidaknya, yaaa…. Harus ditoleh lah! (toleh dan lihatlah entah itu cuma sebentar ataupun memandangnya lama-lama…). Karena dengan melihat perkembangan yang terjadi, sedikitnya saya bisa melihat sebuah alat ukur. Alat ukur untuk mengetahui selera pembaca kita di sini, saat ini, setidaknya….
Dan pertemuan dengan tamu muda saya dari Paris di awal tahun 2009 ini—dengan caranya yang kaku dan agak terjaga—entah kenapa membuat saya menginginkan kembali dunia saya yang agak terenggut di tahun 2008. Dunia kepenulisan.
Dan hey, itukah resolusi saya di tahun 2009?
Menulis lagi?
Bagaimana dengan Edward?
EDWARD CULLEN saya?
Ahahaha.
Hhm… Bagaimana kalau 2009 saya menulis saja dan tulisan itu tentang Edward? Ahahaha.
Apapun bentuknya. Bagus atau jelek. Sesuai selera saya dan banyak orang atau pun tidak. Sebangsa catatan diary atau bukan. Rapi atau pun acak-acakan. Bikin geli ataupun membuat saya senang setengah mati, saat ini saya hanya mau mencoba melatih lagi jejari saya. Menulis dan menulis. Apapun! Nggak perduli menulis taik ataupun draft-draft sampah di jendela Microsoft komputer saya. Nggak perduli meskipun itu cuma kelebatan pikiran yang nggak penting atau terlalu emosional untuk dituliskan. POKOKNYA TULIS! TULIS! TULIS!
Ah tamu manis dari Paris, makasih buat percakapan di antara hujannya, ya. Percakapan yang membuat saya sekarang termotivasi untuk kembali melemaskan jemari. Bersiap menangkap imajinasi. Sayang banget kemarin kamu nggak bisa lama-lama di Jakarta, ya.
Tapi hmm…Bagaimana?
Sudah tiba lagi di Paris kan?
Dinginkah di sana sekarang?
Sampai jumpa lagi ya…
Semoga kapan-kapan kita bisa bersua
Salam dari jakarta
:P
_____________________________________
PS:
Btw, konyol juga kalau ingat gayamu yang kayak turis di kedai tempo waktu itu. Dan kucing manja tersebut… ahahaha. Dia pasti kangen belaianmu tuh, Mikey…
Post Title
→Tamu dari Paris
Post URL
→https://gallerygirlss.blogspot.com/2009/01/tamu-dari-paris.html
Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls