I LOVE YOU, EDWARD…. (*part_2)
*Kisah jatuh cinta massal saya yang kesekian,
kali ini: terhadap Edward Cullen si vampire keren nan kelam*
Cinta, Antara Imaji dan Hasrat Nyata
Untuk yang kedua kalinya saya nonton film TWILIGHT, kemarin. Kali ini bareng ponakan cewek saya: Rima. Usia dia, 16. Saya, 32. Namun perbedaan umur yang melipat kami hampir setengahnya itu tak membuat kami memiliki halangan untuk sama-sama jatuh cinta secara massal dan membabi buta pada si Edward.
Setelah menonton TWILIGHT, kami search image di google dan menemukan puluhan gambar Edward Cullen. Beberapa foto memperlihatkan si pemeran Edward yang tak lain adalah Robert Patinson (dia pernah memerankan Cedric Diggory di ‘Harry Potter & Goblet of Fire’). Tapi sumpah! Saya nggak jatuh cinta sama dia. Dia memerankan tokoh apa saja, atau dia jadi dirinya sendiri pun, bodo amat! Saya sama sekali tak tertarik. Namun begitu ia masuk ke dalam karakter Edward! OMG!!!!! Bahaya dan titik panas itu langsung mengimbas dan menyambar tubuhnya. Aura Edward langsung terlihat menyebar dan merasuk di tubuh si Rob. Rob yang telah berubah wujud menjadi vampire Edward Cullen.
Dan ternyata oh ternyata… setelah bertemu Lucky yang juga (akhirnya) nonton TWILIGHT, bukan cuma cewek bo…. Yang jatuh cinta pada Edward, tapi juga para lelaki dan tentu saja kaum gay. Edward memang magnet dengan seribu daya tarik yang luar biasa. Kayak Elvis Presley di masa lalu. Atau Edward Schisorhand yang aneh ganjil tapi mencabik hati dan membuatnya mudah tercuri.
Harus saya akui, sejak tahu apa artinya ‘mengagumi’ dan bagaimana rasa itu bisa membangkitkan rasa yang lain dalam dada dan kepala serta imajinasi, saya telah jatuh cinta berkali-kali. Entah itu cinta yang utopis, cinta nggak ‘real’, ataupun cinta yang beneran dan terjadi di planet bumi yang beratmosfir ini. Pokoknya perasaannya sama: terkagum-tergila-kangen-ingin tahu lebih banyak tentang dia-selalu mau jumpa, serta membangkitkan imajinasi, dan menggerakkan jemari saya untuk menulis (bila jatuh cinta atau suka seseorang, biasanya saya menulis tentang dia: orang tersebut). Dan di tulisan ini, nggak apa-apa lah kalau saya akhirnya bikin pengakuan yang sebelumnya belum pernah saya tulis dan nyatakan pada dunia. Pengakuan saya tentang cinta.
Cinta Pertama
Usia saya 14 ketika cinta pertama itu hinggap. Dia lelaki, tentu saja. Namun ia sudah bukan manusia ketika saya mengenalnya. Ia meninggal di tahun ketika saya dilahirkan. 1976. Dan pastinya dia sudah jadi hantu di Misisipi sana ketika saya kerap menangis merindukannya.
Cinta pertama saya adalah Elvis Presley, si King Creol yang legendaris dan membuat hati belia saya yang masih amat muda, meleleh. Cinta itu terjadi karena setiap liburan sekolah (masa SMP dan SMA saya dihabiskan di sebuah pondok pada sebuah pesantren di Jakarta yang hanya mengijinkan santrinya menonton TV pada hari jumat yang menjadi hari libur pesantren kami), pada saat malam-malam di waktu liburan, saya kerap begadang tak tidur. Menunggu film-film yang diputar di layarkaca. Dan saat itulah cinta pertama tersebut menggoda.
Seorang lelaki keren, pandai menyanyi, dengan pembawaan tenang serta kadang heroik meski dia cuma cowok yang digambarkan berkarakter biasa dan sederhana, muncul di TV. Nama dan karakter yang diperankannya bisa berganti dan ia bisa menjadi apa dan siapa saja di sana, tapi pemerannya tetap sama dan selalu adalah dia: Elvis. Elvis Presley.
Dan setiap kali saya menonon laga-nya di dalam tabung televisi, hati saya jadi berbunga, perasaan saya berkecamuk dan saya jadi turut membenci siapapun yang Elvis benci dan menjegal langkahnya, airmata saya turut meleleh dan hati jadi hancur berkeping bila kesedihan atau kejadian buruk menimpa Elvis meski saya tahu itu cuma hanya sebuah lakon di cerita film. Lalu saat masa libur sekolah usai, ketika saya harus kembali melanjutkan pelajaran saya di pesantren, Elvis bukannya absen tapi malah semakin sering mengunjungi saya. Mengisi bingkai-bingkai mimpi, mencuatkan kekangenan yang baru pertamakali saya rasakan. Dan segala yang terpendam dan tak terungkap itu membuat saya kerap bertingkah aneh, mirip perasaan gila karena nggak bisa ketemu dia yang tercinta. Semacam sekeping frustasi karena saya sadar bahwa saya nggak bisa meraihnya, nggak mungkin menyentuhnya dan cuma bisa melihat dia bergentayangan di tabung TV doang. Tabung yang juga sangat jarang bisa saya lihat bila saya berada di pesantren.
Terus terang, saya khawatir saya akan melupakan dia. Bila tak bertemu lagi atau tak menatap lagi matanya, saya ngeri saya akan mampu melupakannya. Saya nggak mau lupa sama dia. Tapi imajinasi dan perasaan itu harus dibantu untuk tetap ada dan tersimpan di hati saya dengan dinding-dinding yang terus berdiri hingga saya bisa bikin rumah cinta di hati saya kokoh dan nggak cepat goyah. Saya harus ketemu elvis lagi. Saya harus bisa melihatnya menyanyi lagi. Saya butuh image dia ada di sekitar saya.
Maka mulailah fase-fase tersebut. Mengumpulkan dan mencari keping informasi dan gambar Elvis. Koran, majalah, stiker, apapun. Saya tempel, saya kliping, saya fotocopy dan malam-malam saat teman-teman sekamar saya tertidur, saya keluarkan foto-foto elvis dari lipatan lembar diary saya. Saya pandangi. Dan diam-diam airmata saya terjatuh. Isak tertahan saya keluar. Itulah tangis cinta terpendam pertama yang saya rasakan. Membuat saya tahu kalau kangen itu menyiksa. Membuat saya mengerti, kalau merindu itu adalah seperti menanggung beban seluruh dunia. Meski sekarang agak geli bila mengingatnya, tapi tangis tertahan di bilik pesantren pada malam-malam yang sunyi itu adalah tangis sungguhan. Meski saat itu saya tak tahu apa yang sebenarnya saya tangisi. Meski saat itu saya tak mengerti bahwa mungkin sebenarnya saya cuma lagi bingung sama perasaan saya sendiri. Suatu perasaan yang aneh, asing serta menyiksa, yang terbit di hati saya tanpa saya tahu kenapa. Dan affair asing ganjil itu saya jalin dengan orang yang telah meninggal pula. Ah, namanya juga cinta di umur 14. Ahahaha.
Tapi tanggal berlarian di kalendar, hari-hari seperrti kilat yang menyambar cepat di kehidupan ter-schedule saya di pesantren. Kelas dan jadwal pelajaran berjejalan mengisi daftar kegiatan. Kunjungan orang rumah dan keceriaan kanak-kanak remaja yang terengut di dalam benteng pesantren, terpisah dari dunia bebas di luar sana, suka nggak suka, disadari atau tidak, saya berusaha nikmati semampunya. Saya nggak melupakan Elvis saya, ketakhadirannya yang melulu membuat saya tak kuat saat seseorang datang begitu saja. Seseorang seusia saya, dengan pesona yang nggak bisa saya tepis. Ia juga mampu membuat saya menangis hanya dengan memikirkannya. Membuat saya menanti kedatangannya hari per hari. Namanya: Terry.
Ya, cinta kedua saya pun tetap karakter tak nyata. Terry si bocah bengal dari serial komik Candy Candy. Usia kami sama. Dia kurang lebih juga seumuran anak SMP di dunianya di balik lembar komik di Amerika sana. Nggak usahlah saya ceritakan bagaimana saya termehek-mehek pada Terry dan selalu menanti kelanjutan tiap episode baru dari serial mangga jepang Candy Candy tersebut. Yang jelas, saat saya mulai duduk di bangku SMP dan lantas SMA serta nggak juga menemukan tambatan jiwa, kesepian saya selalu nggak pernah sunyi. Meski tak pernah nyata, ia selalu gegap gempita dan terus mencari. Mengembara dan diisi oleh imajinasi-imajinasi yang datang menghampiri.
Saya tak pernah lupa Elvis saya, saya selalu kangen Terry saya. Dua karakter imagi yang menemani pertumbuhan emosi dan psikologis saya. Dua sosok yang mengenalkan saya pada simulasi arti cinta, menemani pertumbuhan jiwa saya dalam pencariannya terhadap banyak hal. Dua tokoh maya yang telah mampu membuat cewek-cewek sedunia jatuh cinta. Perasaan jatuh cinta massal namun teramat personal, yang sangat saya hayati.
Cinta Transisi
Setelah jatuh cinta secara visual pada Elvis dan merasakan rasa sayang yang koheren, personal dan dalam terhadap Terry, seseorang dari dunia indah yang lain menjerat saya. Kali ini ia berasal dari negeri di awan. Negeri dengan banyak bunyi yang mengalun merdu. Mengisi gendang telinga dengan nada yang memikat jiwa. Nada yang dikompisisi dengan lirik-lirik lagu yang bermakna dalam dan mampu menembus relung hati saya.
Waktu itu, tanpa melupakan dua lelaki kahayalan saya, Lagi-lagi saya terlanda demam. Demam asmara dan kesengsem berat sama Katon Bagaskara. Dengan segera, saya menjadi KLAnis. Mengirim surat ke kotak fans KLA PROJECT (thanks god, kali ini setidaknya ia berwujud hingga saya bisa menulis di secarik kertas yang nyata dan nggak melulu menuliskannya di diary yang tak terpublikasi seperti ketika saya menahan perasaan pada Elvis dan Terry). Betapa melambungnya saya ketika surat balasan itu tiba. Sepucuk surat dengan kata ucapan terima kasih karena telah menjadi Fans KLA yang disisipi gambar 4 orang personilnya: Katon-Lilo-Ari-Adi. Katon berdiri di sisi kanan kedua, kalau nggak salah. Dan kali ini, meski dengan perasaan malu dan dilakukan secara diam-diam, saya mulai berani menciumnya. Ciuman pertama saya. Ciuman dengan gambar dari seseorang yang pandai memetik dawai gitar dan memiliki suara sebening malaikat.
Saat ciuman pertama itu terjadi, saya sudah duduk di kelas 1 Madrasah Aliyah (setingkat SMA) dan menemukan keasikan bernyanyi sambil membayangkan si dia yang saya puja dan idolakan. Sebuah cinta yang secara aneh diam-diam saya sadari, pasti nggak mungkin bisa lebih indah dari cinta saya yang nggak kesampain ke Elvis dan Terry. Cinta kali ini semacam cinta transisi. Antara khayal dan nyata. Tokohnya bener-bener hidup dan ada. Bernafas dan bisa saya temui bila saya mau. Tapi apa yang akan terjadi bila saya benar-benar ketemu Katon? Adakah dia seindah bayangan di kepala saya? Bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau saya kecewa? Bagaimana kalau…
Meski selalu menanti kehadirannya di TV dan mengejar-ngejarnya di gelombang radio, tapi saya berjanji saya nggak akan kirim surat lagi. Emosi gadis kecil saya yang telah beranjak dewasa seolah menoreh firasat bahwa cinta kali ini adalah cinta yang berisiko. Cinta yang belum saya siap untuk menghadapinya. Kekecewaan, rasa sedih, ketakutan tak berbalas… namun lebih dari itu, sekarang saya sadari bahwa mungkin pada saat itulah, saya pertamakalinya menemukan cinta dengan wajah yang bermuka dua. Cinta yang agak menakutkan. Cinta dengan kepicikan yang menginginkan kesempurnaan. Cinta yang tak mau dikecewakan. Permasalahan cinta terbesar yang banyak merusak jiwa-jiwa orang dewasa: cinta yang egois dan hanya berbakti pada kepentingan diri sendiri. Cinta yang tak mendedikasikan dirinya untuk ia yang dicintai…
Tidak seperti pada Elvis dan Terry, saya justru kehilangan hasrat untuk menemui dan berjumpa Katon Bagaskara. Saya ngeri dia merusak imajinasi saya tentang Katon yang saya kagumi. Saya nggak bisa menghadapi kenyataan kalau misalnya Katon tak seindah yang saya bayangkan. Bagaimana kalau dia cuma lelaki playboy sebagaimana para artis pada umumnya?
Hehehe, jatuh cinta saya ke lelaki penyanyi kali ini adalah jatuh cinta massal saya yang kesekian yang membawa sudut pandang baru tentang arti cinta itu sendiri ke jiwa saya yang belia…
Cinta Nyata (Ada dan Bisa Disentuh)
Saat semester III di bangku kuliahan, barulah cinta ‘nyata’ itu sungguh-sungguh menjelma. Saya merasakan panas dingin bila kebetulan bertemu secara tak sengaja dengannya. Meski berusaha menarik perhatian, tapi saya merasakan kelu yang kebas saat tak sengaja menangkap sosoknya atau kebetulan mata kami saling bertebasan pandang dalam diam. Kali ini saya jatuh cinta beneran pada orang: pacar pertama saya yang manusia dan nyata. Datang dari lingkungan sekitar dan ‘bertubuh’. Dia ada dalam arti yang sesunggungguhnya. Saya bisa menyentuhnya, bercakap dengannya, berjalan menyusur hujan, makan bareng, membelai pipinya, dan dengan dia pulalah saya merasakan ciuman ‘nyata’ unuk pertamakalinya.
Ah, tapi nggak usahlah diceritakan dengan panjang kisah cinta pertama saya dengan seorang kakak kelas yang manis-kurus-tinggi di bangku kuliahan tersebut, karena pembahasan kali ini adalah tentang jatuh cinta massal dan jatuh cinta utopis pada karakter buatan.
So, begitulah ceritanya. Setelah putus dari kakak kelas saya yang manis-kurus-tinggi, ada si ‘TTM’ yang menceriakan hari saya, untuk kemudian muncul si pacar ‘nyata’ kedua. Nah, berbarengan dengan terjalinnya perasaan suka yang baru ke pacar kedua, saya tak bisa mengingkari perasaan lain yang tumbuh beriringan dengan kedekatan saya ke si Koko—begitu saya panggil pacar cina saya yang satu itu. Saya nggak selingkuh, tentu saja. Tapi tak bisa saya pungkiri, saya amat tergila dan terpikat hati pada lelaki jepang yang satu ini.
Setiap sore, saat saya dan si Koko menunggu acara makan malam bersama, kami berdua dengan bersemangat selalu menyaksikannya: aksi pendekar samurai jepang di jaman Meiji. Pendekar berambut panjang dengan kulit pipi yang tercabik membentuk huruf X.
Dialah Rurouni Kenshin atau Hittokori Battousai (Battousai si pembantai) dari serial anime SAMURAI-X. Dia samurai dari kelompok Chosu yang telah memenangkan pertempuran pada masa ke-shogun-an Tokugawa yang membentuk jaman Meiji. Samurai sederhana, culun, kerap bertingkah tolol tapi pada waktu yang bersamaan juga memikat dan amat menyentuh. Identitas ‘bekas pembunuh bayaran’ yang telah dijalaninya di masa lalu membuat dia kerap bertingkah misterius. Kenshin yang menyesali perbuatannya di masa lampau bersumpah untuk tidak akan membunuh seorang pun lagi di masa kini. Karena itulah si samurai idola saya tersebut menggunakan pedang ‘Sakabatou’ yang bermata tajam terbalik yang hanya ia pergunakan untuk mempertahankan dan membela diri. Namun tak perduli Samurai-X telah tobat atau apapun, musuh dari masa lalu selalu mengejarnya sampai masa kini. Musuh-musuh yang penuh dendam dan penasaran, mereka yang dengan berbagai alasan berjanji untuk menghabisi Kenshin di manapun dan pada masa apapun: masa depan dan semua masa, entah apapun itu.
Tentu saja si Koko tahu saya tergila sama Kenshin, tapi dia cuma ketawa-tawa dan nyegir kuda. Nggak pernah cemburu. Dan saya pun bebas berkhayal dan berimajinasi tentang si kenshin dan malam-malam serta hari yang ia lalui bersama sohibnya Kaoru & Sanosuke.
Ah Kenshin, Samurai berambut panjang dengan potongan jabrik yang ujungnya tajam-tajam. Battousai si pembantai yang menjadi cinta ke-4 saya pada karakter imaji. Yup, sampai saat ini pun saya masih mencintai lelaki samurai yang amat ksatria tersebut. Setiap saat sebelum saya tidur, tampangnya selalu saya tatap. Ia tengah mengejang tampan dengan ekspresi menyerang di poster besar warna pastel yang saya tempel di dinding kamar. I still love you, Kenshin….
Namun hidup adalah lembaran buku yang kita nggak tahu ada apa di halaman berikutnya. Dan Bertemu dengan orang-orang baru adalah seperti bertemu dengan tokoh-tokoh dalam jalinan kisah di buku-buku cerita. Membuat plot point sebuah alur naskah bergerak dan berjalan serta terus melaju ke depan. Memunculkan konflik, menghadirkan klimaks, dan membuat sebuah bab memiliki akhir. Saya putus dengan si Koko, di kisah hidup nyata. Tapi saya terus bermesraan dan mengoleksi apapun yang berkenaan dengan Kenshin, di kehidupan khayal serta real life saya.
Ya, setelah Elvis, Terry dan Katon yang saya temukan sendiri, serta Kenshin yang mengisi hati setelah dipertemukan oleh si Koko yang telah lebih dahulu menyukai Samurai-X jauh hari sebelum saya mengenal si Battousai, hidup saya berlanjut dan kali ini mengharuskan saya hinggap di ujung timur Jakarta.
Cinta yang mengubah sudut pandang dan berpengaruh besar
Di Utan Kayu, cinta-cinta massal saya pada karakter-karakter imaji yang dikreasi pun terus berlanjut. Affair-affair yang nggak pernah berhenti dan tak mengenal kata ‘putus’ sebagaimana yang terjadi dalam kisah cinta di kehidupan nyata. Kehidupan real dengan tagline ‘show must go on’.
Tapi tentu saja, cerita antara satu kisah dengan kisah lainnya memerlukan transisi. Seperti cinta dan kelahiran serta kematian, perkenalan saya dengan karakter-karakter imagi yang membuat saya jatuh cinta mati pun memeliki saat-saat transisi seperti itu. Transisi itu bisa mewujud melalui diri seseorang, atau bisa juga berupa tempat.
Untuk kali ini, stasiun transisi tempat saya transit adalah sebuah seting. Utan kayu. Tempat dengan banyak karakter orang-orang di dalamnya. Dan di antara sekian banyak orang dengan sekian banyak urusan dari mulai jurnalistik, kemanusiaan, budaya serta urusan demokrasi (katanya), saya menemukan sosok itu. Sebuah encounter yang membawa perubahan besar dalam kehidupan saya: Norea—dia yang kemudian amat mempengaruhi cara pikir serta pola pandang saya. Mengubah banyak gaya serta perspektif dalam melihat banyak hal.
Norea bagi saya adalah mungkin seperti semacam sebuah situasi. Katakanlah Seperti saat kau membaca tentang teori kelas-nya Karl Marx atau Sejarah Tuhan-nya Karen Amstrong, misalnya. Dan kau pun mengerti bahwa saat itu kau tengah bermesraan dan menjadi dekat dengan pikiran orang tersebut. Dari perasaan tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang ‘apa sih yang ingin orang ini bilang?’ di bukunya, kau kemudian masuk ke dalam inti pemikirannya melalui lembar per lembar halaman yang menguak sedikit demi sedikit tambahan pengetahuan. Pengetahuan yang direspon melalui nalar. Membentuk persepsi “setuju” atau “tidak” dengan argumen si penulis atau teori yang dikemukakan si tokoh. Bila setuju, kepalamu menyerapnya. Bila tidak, maka semacam kerja sortir terjadi dengan refleks. Dan setelah itu, dengan cara yang aneh pikiran-pikiran atau gagasan orang tersebut (tentu saja yang bisa kita terima) menempel di kepala, mempengaruhi cara pandang dan seolah itu menjadi cara kita melihat sesuatu dengan sudut pandang yang baru.
Seperti itulah Norea mempengaruhi saya. Beberapa sangat persuasive, beberapa melalui serangkaian argumentasi yang alot dan kerap menjengkelkan, beberapa melalui rangkaian peperangan, beberapa melalui derai tawa sambil menghina orang. Meski ia telah sangat jauh dari saya sekarang, tapi entah dengan cara yang bagaimana saya kerap merasa masih dekat dengannya: dekat dengan pikiran-pikirannya.
Dia nyeleneh, nggak pernah klise, kerap anarkis, dan unik. Ia membuat saya sering merasa timbul tenggelam antara dunia khayalan dan nyata, dan itulah alasan terbesar saya saat jatuh cinta pada Norea si kurus berkacamata. Ia yang kemana-mana selalu bangga mengenakan pakaian hitam. Ia yang memiliki cengiran jelek yang bikin kangen dan temperamen yang nggak bisa ditebak. Agak gila, suka drama, tapi memesona. Norea yang secara sosok, agak mirip dengan pacar pertama saya si kakak kelas yang manis-kurus-tinggi dan berkacamata, namun secara pikiran, keduanya memiliki pandangan yang jauh berlainan.
Norea adalah paradoks. Memilliki cara pandang yang jauh lebih maju tapi juga kadang old school, Liberal tapi kerap fundamental, feminis tapi juga patriarch, relijius tapi jago menghujat yesus, pengalah tapi kerap doyannya menang sendiri, merasa selalu betul bila berargumentasi (sialnya, dia memang banyak betulnya) tapi bangunan logikanya banyak yang salah kaprah, memiliki sikap anti hampir pada segala hal tapi tidak pada film Hollywood serta produk popular hasil rekayasa teknologi jaman terkini, doyan ngutuk orang, memiliki energi agak negatif dan kerap merusak diri sendiri. Tapi meski begitu, di antara semua mantan kekasih “nyata’ saya, dialah yang paling… KEREN! (pikirannya, tentu. Jangan kege’eran ya bo… :p)
Intinya… saya amat cinta pikiran dan cara pandang Norea, si lelaki yang suka ‘sok pembela’ perempuan. Melalui dia pulalah saya mengenal dan lantas amat menggandrungi lalu jatuh cinta lagi secara massal kepada beberapa imaji ciptaan fantasi.
Saat Norea menggilai Anakyn Skywalkers dari tetralogi Star Wars, saya pun turut mencintai si Dart Vader muda yang menjadi murid Obi Wan Kenobi dan master Yoda. Anakin yang pada awalnya amat bersetia pada Jedi ways tapi berakhir dengan kekelaman dan kejahatan serta segala penghancuran pada diri sendiri saat ia berubah menjadi monster: Dart Vader—dia yang bersuara seperti air mendidih. Meski Dart Vader jahat, tapi Anakyn adalah jiwa yang baik. Kelak ketika tahun berlalu dan saya masih juga mencintai Anakin, saya pandangi dalam-dalam gambar Anakin yang tengah memegang pedang cahaya (diperankan Hayden Crhistensen) dan membayangkan betapa duka hatinya memikirkan putri amidala yang dia cintai. Cinta yang berakhir tak selalu indah dan justru itu membuat saya mencintai Anakyn lebih dalam lagi.
Lantas saat trilogy THE MATRIX muncul, dan si programmer-hacker penyendiri Thomas Anderson alias Neo dengan kacamata hitam dan wardrobe serba hitam-hitam menjelma menjadi penyelamat Zion dan berubah menjadi si pembangkang yang tak patuh pada ‘ajaran’ serta ‘program’ mesin yang membuat manusia di dunia secara otomatis dibuat seragam, saya pun turut mencintai Neo. Membayangkan saat-saat ketika Trinity meninggal di akhir The Matrix-1, rasanya saya tak kuat.
Dan meski harus saya akui bahwa sebenarnya saya pembenci fable yang menarasikan: ‘… dan si puteri pun terbangun. Ciuman sang pangeran membangkitnya dari kematian. Memberinya kehidupan.’. tapi apa yang saya bisa saya bilang saat NEO melakukan hal tersebut ke Trinity? Mencium kekasihnya yang menjadi pejuang ‘diluar’ system dan membuatnya kembali hidup. Bersama Neo menjadi pejuang Zion yang saling mencintai. Segala filosophy dunia mesin yang menjadi duplikasi dunia kita yang di angkat ke layar lebar oleh Wachowski Brothers tersebut (larry dan Andy) benar-benar membuat saya jatuh cinta. Cinta yang menggebu pada karakter NEO yang serba htam-hitam, dingin, keren, anti system dan amat menderita saat kehilangan trinity.
Lalu menhempaslah masa itu. Ketika dunia terlanda deman The Lord of The Rings. Mana ada cewek yang bisa tahan dengan peri tampan LEGOLAS Green Leaf?
Ketika para lelaki terkaing-kaing dengan Arwen peri wanita yang dibintangi Liv Tyler, hati perempuan sedunia telah dirampok dan dicabik-cabik saat melihat peri lelaki pirang bertelinga runcing dengan sorot bola mata hijau yang tampak anggun meski ia tengah berperang dan membetot anak-anak panah dari busurnya.
Waktu saya dekat dengan Norea, maka 3 karakter imaji tersebutlah yang berturut-turut mengisi lautan cinta fantasi saya: ANAKYN, NEO dan LEGOLAS Green Leaf. Lalu ketika hubungan saya dengan Norea terhempas, baru kali inilah… baru saat inilah: Bulan Desember 2008, saya kembali merasakan detak itu lagi saat saya melihatnya.
Dia telah mengembalikan trend wajah pucat ke layar lebar. Vampire muda dari Amerika yang jatuh cinta pada perempuan yang darahnya ‘bernyanyi’ untuknya. Darah yang amat membuatnya haus tapi sampai mati ia hindari. Vampire yang jalan-jalan di waktu siang, berkendaraan volvo mengkilat dengan mesin turbo 911, senang bermain soft ball, berwatak melankolis dan agak pemurung, kelam tapi baik hatinya: edward. EDWARD CULLEN si penjajah hati saya saat ini. Ahahaha.
Mau Nonton lagi dan lagi…
*saya nggak mau lupa kamu, Edward*
Ah Edward… tahukah kamu kalau diam-diam sekarang saya merencanakan untuk selalu menonton kamu. Setidaknya per3 hari sekali.
Jauh di hati saya, saya pun mulai membuat praduga: mungkin memang itulah satu-satunya cara yang dibuat takdir supaya kita bisa selalu bertemu: saya di bangku penonton, duduk di bawah lampu bioskop yang dimatikan, dan kamu di dalam layar lebar bergerak di bawah siraman cahaya dari pancaran lumen di projector. Kamu tidak bisa melihat saya, meskipun kamu vampire, tapi saya bisa melihat kamu walaupun kamu berada ribuan mil dari tempat saya duduk menonton dengan roman yang selalu terpukau.
Sumpah Edward, saya semalaman berpikir tentang hal ini. SAYA NGERI SAYA BISA LUPA KAMU. Saya takut saya nggak ingat lagi sama kamu. Di Jakarta sini, kota yang beda dengan Forks meski juga memiliki curah hujan yang cukup lumayan, kegiatan saya kadang bejibun kadang nggak ada juga. Tapi meski begitu, saya khawatir kegiatan-kegiatan entah yang ada ataupun tidak tersebut, akan mampu menenggelamkan ingatan saya padamu. Dalam skala kecil atau besar, kegiatan dan pekerjaan, tetaplah menuntut perhatian. Dan saya ngeri, perhatian saya jadi sedikit beralih darimu. Saya juga khawatir kalau suatu hari saya akan ketemu cowok yang menarik dan saking frustasinya karena nggak pernah ketemu kamu di dunia nyata, saya mencari-cari kamu dalam diri cowok tersebut. Padahal saya sepenuhnya sadar kalau saya nggak boleh bersikap begitu. Karena yang saya gilai adalah kamu. Karena yang saya mau, adalah Vampire yang serupa dirimu. EDWARD CULLEN, I love you…. NO ONE BUT YOU. The real and the only vampire alive in my heart. (ahahahaha, *gubraks!)
Sebab saya tahu dengan pasti Edward, ONLY VAMPIRE CAN LOVE YOU Forever…
Hihihihi.
Edward, saat ini saya baru 3 kali menontonmu (tanggal 31 Desember saya nonton kamu lagi), tapi saya berjanji saya akan menontonmu lagi dan lagi. Dan mungkin ada baiknya juga kalau kau tahu, Edward… saya telah menyelesaikan membaca NEW MOON dalam 1,7 hari, ECLIPSE dalam 1,4 hari. Dan sekarang rasanya hari-hari amat panjang saat saya menunggu kehadiran BREAKING DAWN.
Apa yang akan terjadi lagi padamu? Apa yang akan kembali menimpamu? Sungguh Edward, sehari saja saya tak melihat atau tak tahu kabar tentangmu, rasanya saya waktu jadi beku… Karena saya tak ingin melupakanmu. Karena saya mau untuk selalu ingat kamu… Edwar, EDWARD CULLEN-ku…***
Post Title
→I LOVE YOU, EDWARD... (*part_2)
Post URL
→https://gallerygirlss.blogspot.com/2009/01/i-love-you-edward-part2.html
Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls