Keep good job....
Demikian Ian bilang sebelum akhirnya ia kembali ke kamboja dan bertemu dengan khmer men-nya, para street refugees yang nasibnya gak jelas. In betweener yang meski dilahirkan di kamboja, tapi besar dan hidup di Amerika. Percaya kalau Amerika adalah rumahnya. Percaya kalau suatu hari nanti, mereka akan kembali ke "Their home", Amerika. Sebuah negeri yang telah mereka diami selama puluhan tahun tapi akhirnya tetap: mendeportasi mereka. Tak mengakui mereka sebagai warganya, karena memang mereka adalah orang-orang Kamboja. Datang ke Amerika bersama orangtua mereka. Ketika mereka masih bayi. Ketika belum lagi tahu, siapa diri mereka. Sampai suatu hari tiba-tiba mereka tersadar bahwa mata mereka beda, kulit mereka tak sama, meski dengan para anggota gank di daerah bronx di Harlem sana, mereka memiliki aksen bahasa yang tak berbeda: mother fucker, dog! gaya preman jalanan yang sehari-harinya lengket dengan narkoba dan obat-obatan.
Dan kini mereka, para street refugees itu, sebagian telah hampir 3 tahun di Kamboja. Tanpa pekerjaan, uang dan sanak keliuarga. Berharap suatu hari bisa kembali pulang ke rumah mereka: Amerika. Kisah yang didokumentasikan Ian White dengan bagus. Mengingatkan aku akan para keturunan Tionghoa di Indonesia. Bedanya mungkin, mereka benar-benar menganggap Amerika sebagai rumah. Sedang bagi para keturunan di sini, Indonesia adalah telah menjadi rumahnya. Setidaknya, para generasi ketiganya, telah merasa bahwa mereka bukan in betweener totok.
Keep Good Job juga Ian. Aku ingin lihat film dokumenter-mu kalau sudah jadi kelak (semoga brit-doc dan sundance tertarik). Keep Good Job juga, Andre Vlchek. Seorang teman lain yang sangat tak betah tinggal di Indonesia. Dan dengan alasan yang sangat romantik (demi Roosie), bertahan kembali tiap 3 bulan ke Jakarta. Ajari aku membuat kerja yang bagus. Yang ada gunanya.... (amien)
Hhhh...
Bisakah aku bekerja dengan bagus?
Betahkah aku tinggal di Indonesia?
Hehehe, nggak ada pilihan lain, pren. Kecuali memang harus mendisiplinkan diri untuk berlatih bekerja dan mencintainya. Pekerjaan, meski entah Indonesia. Di mana waktu dan hidupku telah kuhabiskan di sini. Di mana ratusan hari minggu telah kuhabiskan di Indonesia. Di mana ribuan hari selasa (kenapa aku suka banget hari selasa ya? pasti nggak hubungannya dengan buku "thursday with mori" kan?), dan kemarin, tanggal 19 Agustus, genap 30 tahun dari hidupku telah kubuang di sini, di Indonesia. Jakarta.
Yup!
19 agustus kemarin ada angka aneh menyeruduk cermin dalam kamarku. Membuatku tersenyum dan ingat kalau kulit dan daging ini, telah 30 tahun kujadikan baju untuk jiwaku. Hehehe.
Tak ada yang berubah selain rambut yang kurasa jadi agak menipis dan mata yang kadang semakin bengkak menjadi. Sinusitis-ku tak juga kunjung sembuh. penyakit yang terus menyertai seolah teman lama yang setia dan selalu menjadi yang pertama menyadarkanku tentang kondisi kesehatanku. Terimakasih, Sinus.... Adamu, membuatku jadi bisa mengukur dan tahu kondisi fisikku. Ay lap yu :p
Tak banyak yang berubah!
Dan apa pula yang bisa diharapkan dari usia 30 tahun?!
Perubahan macam apa?!
kalau aku perempuan yang mengambil jalan sebagaimana yang banyak diambil oleh perempuan di sini, paling banter aku telah punya 1 anak dan sedang hamil anak kedua. Atau kalau tidak, aku telah menikah dan sekarang jadi janda cerai. Hahahaha.
Ada sekepal ingatan keras kepala yang mengerak di kepalaku. Membuatku tak mudah berkompromi dengan kenyataan dan menbikinku meyakini bahwa aku harus menganut moral yang kuadaptasi dari cara berpikirku sendiri. Heren Moral, alias moral Tuan, kalau kata Oom Nietchze. Capek dan nggak menarik sih kalau diceritakan prosesku tentang mengapa aku lebih percaya pada moral yang dibikin oleh hasil pikirku daripada moral yang dibuatkan orang untukku, di sini, di blog ini. Tapi bagiku, itulah yang membuatku menjadi aku yang sekarang: aku yang entah dan terus mengalir transparan! Ekspresif dan mudah murung, tapi lebih senang memperlihatkan ke khalayak kalau aku adalah si ceria yang selalu gembira--dan bahkan mungkin kadang gila.
Bercermin pada angin, di depan cermin yang memperlihatkan baju jasadku, aku telah belajar dan jadi tahu kalau kehidupan ini absurd. Setiap langkah yang menuntunmu membawa pada suatu jalan, belum tentu akan membawamu pada ujung jalan tersebut. Jalan kehidupan ini begitu bercecabang dan banyak sekali saling silang. Tak apa-apa bila kau tersesat. Tak mengapa bila kau kadang mendapat kesulitan darinya. Itu akan membuatmu belajar banyak. Kesulitan akan membikinmu mampu mencari jalan yang mudah. Dan dengan penderitaan...
Simpanlah ia dan jangan diperlihatkan. Bukankah segala yang dikandung kehidupan, mengandung samsara?
Kelahiran, cinta, pernikahan, kematian dan usaha untuk hidup itu sendiri, adalah suatu titah dalam kesetiaan menjalankan samsara yang tak usai. Samsara yang membawa kita mengerti arti kebahagiaan. Menghargai hal-hal kecil meski cuma tentang selembar daun yang dihembus angin.
Aku suka angin siang, minggu ini.
Hhhh....
Post Title
→ Post URL
→ Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls