Reportase dari lapangan niy...
(ditulis buat sindikasi berita untuk koran daerah Imdonesia Timur)
___________
Peringati Hari Perempuan Sedunia,
Perempuan Jakarta Tolak RUU APP & Pemiskinan Terhadap Perempuan
Oleh: Ucu Agustin
Pukul 10.05. Terik matahari mulai menyentuh Jakarta. Sekitar seribu massa dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia begerak meninggalkan bundaran Hotel Indonesia menuju Istana negara. Di belakang iring-iringan itu, sebuah kesibukan lain sedang terjadi. Sekitar lima ratusan perempuan terdiri dari aktivis berbagai ORNOP, Ibu-ibu rumah tangga—yang di antaranya membawa serta balita mereka, mahasiswa dan beberapa artis seperti Dian Sastro Wardoyo dan Olga Lidia terlihat sedang sibuk mengatur barisan. Mereka tampak bersemangat. Tawa dan canda kecil, terdengar di antara suara Yulia E. Sinabara dari pengeras suara yang tak henti memberi instruksi untuk merapikan dan merapatkan barisan. Sementara itu Vivi Widiawati, sang koordinator lapangan dengan sigap membagikan kertas realese kepada sejumlah wartawan.
Tentu saja Dian Sastro tak khawatir kulitnya menjadi gosong disengat langsung matahari panas Jakarta, “Ada sesuatu yang lebih penting yang harus disuarakan perempuan Indonesia,” Ucapnya sambil memakai kaca mata hitam. “Saya nggak mau lah tubuh perempuan dikenai tuduhan yang macam-macam. Masa pemerintah seenaknya mau mengkriminalkan perempuan? Kita harus menolak RUU Anti prografi dong!” Ucapnya bersemangat. Dan dibelakang Dian, sejumlah Ibu-ibu dari Cengkareng Kapuk yang membawa rebana, mengatakan hal yang sama, “Kita datang ke sini karena kita nggak setuju sama RUU itu. Sudah cari makan saja susah, sekarang kita perempuan ini yang akan kena getahnya kalau RUU itu sampai disahkan.” Dan seperti mengamini, dari atas mobil kendaran bak terbuka, Yulia E Sibara menyanyikan lagu “Dimana-mana mahal” yang kemudian diikuti oleh para perempuan itu.
Di sana mahal, di sini mahal.
Di mana-mana semua mahal
Di sana mahal, di sini mahal.
Di mana-mana semua mahal
Siapa yang paling repot?
Siapa yang paling susah?
Kalau bukan ibu-ibu…
Dan ketika para perempuan itu dengan semangat menyanyikan lagu mereka, sejumlah tukang ojek yang mangkal di sekitar kawasan Plaza Indonesia berseloroh, “kita dukung lah kalau yang ini. Masa mau ciuman saja nanti kita harus bayar dua juta?” Dan tukang ojek yang lain tertawa mendengar selorohan temannya tersebut.
Begitulah. Hari tu lagi-lagi Bundaran HI menjadi saksi diperingatinya hari perempuan sedunia oleh perempuan Jakarta. Aksi gabungan yang melibatkan 58 organisasi non pemerintah, lembaga mahasiswa dan individu-individu yang memiliki konsern terhadap isu perempuan ini, menurut Mariana Amiruddin dari Yayasan Jurnal Perempuan, dirancang di antara kesibukan Kelompok Kerja Perempuan Menolak RUU APP: NO PORNOGRAFI! NO PORNOAKSI!. Namun selain menolak RUU APP, isu pemiskinan terhadap perempuan juga menjadi isu fundamental yang diusung dalam memperingati hari perempuan dunia kali ini.
No Pemiskinan Perempuan!! No RUU APP!
Kemiskinan yang dialami perempuan Indonesaia, terjadi karena dua hal, yaitu kebijakan ekonomi poltik yang tidak berpihak pada perempuan, dan kuatnya budaya patriarkhi dalam masyarakat yang merambah pada wilayah politik sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasikan dan menindas perempuan.
Menurut Vivi Widiawati, Koordinator aksi perempuan memperingati hari perempuan sedunia, kebijakan ekonomi yang selama ini dijalankan oleh pemerintah SBY-Kalla merupakan kebijkaan yang berdampak buruk bagi perempuan. Pencabutan berbagai subsidi (Kesehatan, pendidikan, BBM dan TDL), telah menyebabkan kesejehateraan kaum perempuan merosot, sedangkan angkatan kerja kaum perempuan yang terus meningkat justru menjadi sasaran utama dari PHK massal yang saat ini sering terjadi. Di sisi lain, ketidak-mampuan pemerintah memberikan lapangan pekerjaan di dalam negeri, mendorong para perempuan untuk bekerja ke luar negeri sebagai buruh atau pembantu rumah tangga dengan tanpa jaminan keamanan dan perlindungan ketenagakerjaan yang memadai dari pemerintah. Dan seiring dengan semakin meningkatnya krisis ekonomi yang terjadi, tingginya angka pengangguran perempuan dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi. Menurut data UNICEF, jumlah pelacur anak di Indonesia saat ini mencapai 30 % dan setiap tahun, sekitar 100.000 anak Indonesia diperdagangkan.
Dengan fakta seperti itu, tak heran kalau perempuan Indonesia mengalami keresahan terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang tengah digodok sangat intensif oleh DPR sejak September 2005. Menurut Ratna Batara Munti dari LBH APIK, bila RUU APP disahkan, perempuan akan semakin dimiskinkan karena pengaturan gerak perempuan semakin dikontrol dan dipersempit. Definisi Pornografi dan pornoaksi yang masih kabur, dengan jelas berpeluang untuk merumahkan perempuan dan bisa jadi membuat mandeg segala gerakan perempuan yang sepuluh tahun belakangan sudah mulai marak di Indonesia. “Lihat saja Perda Tangerang No. 8 tahun 2005 tentang pelarangan prostitusi. Apa itu nggak gila? Sudah dua puluh orang perempuan Tangerang yang menjadi korban. Padahal mereka bukan PSK, mereka Cuma Ibu rumah tangga biasa yang baru pulang bekerja!” Ucap Ratna berang. Ratna mengkhawatirkan, pemberlakuan Undang-undang yang diskrimiatif dan cenderung mengkriminalkan perempuan tersebut akan berakibat pada diberlakukannya Perda-perda lain yang sebenarnya memang sangat tidak perlu. “Gila aja lho. Kalau kita membiarkan Perda seperti itu berlaku, bisa-bisa perempuan akan dikenai jam malam.” Vivi menambahkan.
Selain menolak RUU APP dan meminta penghapusan utang luar negeri yang memiskinkan perempuan, dalam releasenya, aksi perempuan memperingati hari perempuan sedunia juga meminta pemerintah untuk memaksimalkan sosialisasi dan pelaksaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memberi subsidi untuk kesejahteraan perempuan, mengahpus UU dan perda-perda yang mendiskriminasikan perempuan serta tolak revisi UU ketenagakerjaan NO 13 tahun 2003 yang tidak adil terhadap perempuan.
Omi dan Agenda Lanjutan
Sebelum menyampaikan aspirasi terakhirnya di depan istana negara, para perempuan yang melakukan aksi damai memperingati hari perempuan sedunia ini sempat melakukan long march dari bundaran HI menuju Bappenas. Dan sebagaimana layaknya sebuah aksi turun ke jalan, para perempuan itu pun melakukan orasi.
Omi, Ibu rumah tangga korban gusuran daerah Cengkareng yang sehari-hari bekerja menjadi penyortir plastik, adalah salah seorang orator yang sangat menyita perhatian. Perempuan berusia 52 tahun itu membuat saya terkesima, merinding dan hampir menangis. Di sela kalimat-kalimat dalam orasinya yang semula tak lancar dan cenderung terbata-bata, Omi menceritakan keluh kesahnya sebagai ibu rumah tangga. Segalanya kini menjadi mahal, katanya. Pada satu titik ketika ia sudah tak tahan lagi menceritakan segala beban hidup yang harus ditanggungnya dengan hanya memiliki penghasilan sepuluh ribu rupiah perhari, di atas podium, ia mengajak seluruh massa yang ikut dalam aksi untuk mengatai pemerintah dan pemda yang tak becus mengurus warganya yang miskin. “Nggak apa-apa! Sekarang katai saja mereka! Karena meski kita katai, toh Sutiyoso! SBY! Mereka akan tetap saja enak ongkang-ongkang kaki di kursi mereka yang empuk! Mereka tak akan perduli pada kita warga miskin! Pada kita kaum perempuan!” Kobarnya bersemangat. “Tolak RUU APP! Hidup perempuan!” ucap Omi sebelum akhirnya meninggalkan podium dan disambut dengan tepuk tangan meriah.
Tapi bagaimakah caranya menolak RUU APP yang sepertinya justru sedang digenjot oleh DPR yang mengejar deadline bisa disahkan bulan Juni, bisa tercapai?
Selain melakukan lobi dengan fraksi-fraksi di DPR sebelum pansus melakukan sidang pleno RUU APP, kelompok kerja perempuan menolak RUU APP: NO PORNOGRAFI! NO PORNOAKSI!! Akan melakukan konsolidasi lebih dalam lagi dengan seluruh elemen jaringan kerja perempuan. POKJA ini akan secara intensif melakukan diskusi-diskusi publik ke kampung-kampung tempat community base mereka berada, supaya perempuan sadar bahwa RUU APP adalah RUU yang sangat merugikan perempuan. Selain itu, POKJA juga akan mengirimkan surat keberatan-keberatan terhadap fraksi yang mendukung RUU APP dan akan melobi anggota fraksi secara personal. Tentu saja kekuatan jaringan prodemokrasi adalah salah satu jaringan yang akan dipakai untuk mencegah jangan sampai RUU APP ini berlaku di Indonesia. “Bulan April, menjelang hari kartini, insya allah kami akan melakukan aksi yang lebih besar untuk menolak RUU APP,” Demikian ucap Vivi, optimis. ***
(ditulis buat sindikasi berita untuk koran daerah Imdonesia Timur)
___________
Peringati Hari Perempuan Sedunia,
Perempuan Jakarta Tolak RUU APP & Pemiskinan Terhadap Perempuan
Oleh: Ucu Agustin
Pukul 10.05. Terik matahari mulai menyentuh Jakarta. Sekitar seribu massa dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia begerak meninggalkan bundaran Hotel Indonesia menuju Istana negara. Di belakang iring-iringan itu, sebuah kesibukan lain sedang terjadi. Sekitar lima ratusan perempuan terdiri dari aktivis berbagai ORNOP, Ibu-ibu rumah tangga—yang di antaranya membawa serta balita mereka, mahasiswa dan beberapa artis seperti Dian Sastro Wardoyo dan Olga Lidia terlihat sedang sibuk mengatur barisan. Mereka tampak bersemangat. Tawa dan canda kecil, terdengar di antara suara Yulia E. Sinabara dari pengeras suara yang tak henti memberi instruksi untuk merapikan dan merapatkan barisan. Sementara itu Vivi Widiawati, sang koordinator lapangan dengan sigap membagikan kertas realese kepada sejumlah wartawan.
Tentu saja Dian Sastro tak khawatir kulitnya menjadi gosong disengat langsung matahari panas Jakarta, “Ada sesuatu yang lebih penting yang harus disuarakan perempuan Indonesia,” Ucapnya sambil memakai kaca mata hitam. “Saya nggak mau lah tubuh perempuan dikenai tuduhan yang macam-macam. Masa pemerintah seenaknya mau mengkriminalkan perempuan? Kita harus menolak RUU Anti prografi dong!” Ucapnya bersemangat. Dan dibelakang Dian, sejumlah Ibu-ibu dari Cengkareng Kapuk yang membawa rebana, mengatakan hal yang sama, “Kita datang ke sini karena kita nggak setuju sama RUU itu. Sudah cari makan saja susah, sekarang kita perempuan ini yang akan kena getahnya kalau RUU itu sampai disahkan.” Dan seperti mengamini, dari atas mobil kendaran bak terbuka, Yulia E Sibara menyanyikan lagu “Dimana-mana mahal” yang kemudian diikuti oleh para perempuan itu.
Di sana mahal, di sini mahal.
Di mana-mana semua mahal
Di sana mahal, di sini mahal.
Di mana-mana semua mahal
Siapa yang paling repot?
Siapa yang paling susah?
Kalau bukan ibu-ibu…
Dan ketika para perempuan itu dengan semangat menyanyikan lagu mereka, sejumlah tukang ojek yang mangkal di sekitar kawasan Plaza Indonesia berseloroh, “kita dukung lah kalau yang ini. Masa mau ciuman saja nanti kita harus bayar dua juta?” Dan tukang ojek yang lain tertawa mendengar selorohan temannya tersebut.
Begitulah. Hari tu lagi-lagi Bundaran HI menjadi saksi diperingatinya hari perempuan sedunia oleh perempuan Jakarta. Aksi gabungan yang melibatkan 58 organisasi non pemerintah, lembaga mahasiswa dan individu-individu yang memiliki konsern terhadap isu perempuan ini, menurut Mariana Amiruddin dari Yayasan Jurnal Perempuan, dirancang di antara kesibukan Kelompok Kerja Perempuan Menolak RUU APP: NO PORNOGRAFI! NO PORNOAKSI!. Namun selain menolak RUU APP, isu pemiskinan terhadap perempuan juga menjadi isu fundamental yang diusung dalam memperingati hari perempuan dunia kali ini.
No Pemiskinan Perempuan!! No RUU APP!
Kemiskinan yang dialami perempuan Indonesaia, terjadi karena dua hal, yaitu kebijakan ekonomi poltik yang tidak berpihak pada perempuan, dan kuatnya budaya patriarkhi dalam masyarakat yang merambah pada wilayah politik sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasikan dan menindas perempuan.
Menurut Vivi Widiawati, Koordinator aksi perempuan memperingati hari perempuan sedunia, kebijakan ekonomi yang selama ini dijalankan oleh pemerintah SBY-Kalla merupakan kebijkaan yang berdampak buruk bagi perempuan. Pencabutan berbagai subsidi (Kesehatan, pendidikan, BBM dan TDL), telah menyebabkan kesejehateraan kaum perempuan merosot, sedangkan angkatan kerja kaum perempuan yang terus meningkat justru menjadi sasaran utama dari PHK massal yang saat ini sering terjadi. Di sisi lain, ketidak-mampuan pemerintah memberikan lapangan pekerjaan di dalam negeri, mendorong para perempuan untuk bekerja ke luar negeri sebagai buruh atau pembantu rumah tangga dengan tanpa jaminan keamanan dan perlindungan ketenagakerjaan yang memadai dari pemerintah. Dan seiring dengan semakin meningkatnya krisis ekonomi yang terjadi, tingginya angka pengangguran perempuan dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi. Menurut data UNICEF, jumlah pelacur anak di Indonesia saat ini mencapai 30 % dan setiap tahun, sekitar 100.000 anak Indonesia diperdagangkan.
Dengan fakta seperti itu, tak heran kalau perempuan Indonesia mengalami keresahan terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang tengah digodok sangat intensif oleh DPR sejak September 2005. Menurut Ratna Batara Munti dari LBH APIK, bila RUU APP disahkan, perempuan akan semakin dimiskinkan karena pengaturan gerak perempuan semakin dikontrol dan dipersempit. Definisi Pornografi dan pornoaksi yang masih kabur, dengan jelas berpeluang untuk merumahkan perempuan dan bisa jadi membuat mandeg segala gerakan perempuan yang sepuluh tahun belakangan sudah mulai marak di Indonesia. “Lihat saja Perda Tangerang No. 8 tahun 2005 tentang pelarangan prostitusi. Apa itu nggak gila? Sudah dua puluh orang perempuan Tangerang yang menjadi korban. Padahal mereka bukan PSK, mereka Cuma Ibu rumah tangga biasa yang baru pulang bekerja!” Ucap Ratna berang. Ratna mengkhawatirkan, pemberlakuan Undang-undang yang diskrimiatif dan cenderung mengkriminalkan perempuan tersebut akan berakibat pada diberlakukannya Perda-perda lain yang sebenarnya memang sangat tidak perlu. “Gila aja lho. Kalau kita membiarkan Perda seperti itu berlaku, bisa-bisa perempuan akan dikenai jam malam.” Vivi menambahkan.
Selain menolak RUU APP dan meminta penghapusan utang luar negeri yang memiskinkan perempuan, dalam releasenya, aksi perempuan memperingati hari perempuan sedunia juga meminta pemerintah untuk memaksimalkan sosialisasi dan pelaksaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memberi subsidi untuk kesejahteraan perempuan, mengahpus UU dan perda-perda yang mendiskriminasikan perempuan serta tolak revisi UU ketenagakerjaan NO 13 tahun 2003 yang tidak adil terhadap perempuan.
Omi dan Agenda Lanjutan
Sebelum menyampaikan aspirasi terakhirnya di depan istana negara, para perempuan yang melakukan aksi damai memperingati hari perempuan sedunia ini sempat melakukan long march dari bundaran HI menuju Bappenas. Dan sebagaimana layaknya sebuah aksi turun ke jalan, para perempuan itu pun melakukan orasi.
Omi, Ibu rumah tangga korban gusuran daerah Cengkareng yang sehari-hari bekerja menjadi penyortir plastik, adalah salah seorang orator yang sangat menyita perhatian. Perempuan berusia 52 tahun itu membuat saya terkesima, merinding dan hampir menangis. Di sela kalimat-kalimat dalam orasinya yang semula tak lancar dan cenderung terbata-bata, Omi menceritakan keluh kesahnya sebagai ibu rumah tangga. Segalanya kini menjadi mahal, katanya. Pada satu titik ketika ia sudah tak tahan lagi menceritakan segala beban hidup yang harus ditanggungnya dengan hanya memiliki penghasilan sepuluh ribu rupiah perhari, di atas podium, ia mengajak seluruh massa yang ikut dalam aksi untuk mengatai pemerintah dan pemda yang tak becus mengurus warganya yang miskin. “Nggak apa-apa! Sekarang katai saja mereka! Karena meski kita katai, toh Sutiyoso! SBY! Mereka akan tetap saja enak ongkang-ongkang kaki di kursi mereka yang empuk! Mereka tak akan perduli pada kita warga miskin! Pada kita kaum perempuan!” Kobarnya bersemangat. “Tolak RUU APP! Hidup perempuan!” ucap Omi sebelum akhirnya meninggalkan podium dan disambut dengan tepuk tangan meriah.
Tapi bagaimakah caranya menolak RUU APP yang sepertinya justru sedang digenjot oleh DPR yang mengejar deadline bisa disahkan bulan Juni, bisa tercapai?
Selain melakukan lobi dengan fraksi-fraksi di DPR sebelum pansus melakukan sidang pleno RUU APP, kelompok kerja perempuan menolak RUU APP: NO PORNOGRAFI! NO PORNOAKSI!! Akan melakukan konsolidasi lebih dalam lagi dengan seluruh elemen jaringan kerja perempuan. POKJA ini akan secara intensif melakukan diskusi-diskusi publik ke kampung-kampung tempat community base mereka berada, supaya perempuan sadar bahwa RUU APP adalah RUU yang sangat merugikan perempuan. Selain itu, POKJA juga akan mengirimkan surat keberatan-keberatan terhadap fraksi yang mendukung RUU APP dan akan melobi anggota fraksi secara personal. Tentu saja kekuatan jaringan prodemokrasi adalah salah satu jaringan yang akan dipakai untuk mencegah jangan sampai RUU APP ini berlaku di Indonesia. “Bulan April, menjelang hari kartini, insya allah kami akan melakukan aksi yang lebih besar untuk menolak RUU APP,” Demikian ucap Vivi, optimis. ***
Post Title
→Perempuan Sedunia
Post URL
→https://gallerygirlss.blogspot.com/2006/03/perempuan-sedunia.html
Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls