Powered by Blogger.

Naik Kereta Api... Tut, Tut, Tut...




    Segala hal berjalan tak rasional di kereta itu. Matarmaja, tujuan Jakarta-Malang via Tulungagung. Kelas ekonomi.

    Kelas Eksekutif dan Bisnis? NO TICKET! Ludes. Itu pun dengan harga yang melambung dua kali lipat di tangan para calo Kereta api yang banyak bergentayangan di Gambir. Niat mau naik Gajayana Eksekutif dengan harga tiket resmi 240ribu, yang ada harga melonjak jadi 450ribu.
    Nggak bisa 350 aja?
    saya berusaha nawar. Si Bapak tambun tipikal calo yang sering kita lihat di terminal dan stasiun menggeleng.
    Mbak dah liat sendiri, di ticketing dah abis sampai tanggal 12 juli, kan?. Nah, ini kita usahain... ya biaya-nya dua kali lipatnya lah. Wajar kan? Masa segitu ajah masih nawar?!
    .

    Sial!

    Mau naik pesawat? Kalo ada harga yang 500rb sih mau ajah, tapi hiks, high session, segala harga transportasi naik melambung, orang-orang pada liburan, tiket-tiket perjalanan telah habis sampai sepuluh hari mendatang dan parahnya kantong saya lagi cekak. Budget yang saya punya untuk riset kecil kali ini plus akomodasi dan transportasi serta meal, tak lebih dari 1,2juta ajah. Yah, namanya juga riset atas biaya sendiri. Saya nggak mau ah, ngeluarin biaya banyak-banyak. Ahahaha. Jadi.... Go ucu! Go!

    Maka berangkatlah saya ke Senen stasiun, tak ada pilihan lain. Saya harus pergi ke Tulungagung dan waktu yang saya miliki sesempit liang jarum yang saya saja kadang nggak bisa melihatnya dalam sekali tatapan.
    Selalu ada hal menarik yang bisa kita pelajari dari sesuatu yang belum pernah kita lakukan,
    begitu hibur hati saya menguatkan. Dan di Senen, tiket kereta api Matarmaja memang tersedia, harganya cuma 50rebu, 9 kali lebih hemat dari harga tiket di tangan calo di Gambir. Jadwal keberangkatan lebih dulu dua jam, adapun jadwal waktu sampai di tempat tujuan, sama persis dengan jadwal kereta eksekutif Gajayana. Jam7pagi. Bisakah hal itu benar-benar terjadi? Lets’s see....

    Ini perjalanan pertama saya naik kereta api sendirian. Tentu saja selain pesawat dan bus, saya juga pernah bepergian naik kereta api sebelumnya, hanya saja tak pernah sendiri, terlebih naik kereta ekonomi begini. Tenang... pasti ada hal menarik yang belum pernah kamu lihat, begitu terus ucap saya buat menenangkan diri. Dan...

    Eng ing Eng....
    Selasa, jam 14.00 tanggal 1 Juli, dibantu seorang bapak yang mencarikan saya nomor gerbong dan tempat duduk, perjalanan itupun dimulailah. Kereta tua yang rapuh, dengan besi berkarat dan kaca yang sebagiannya retak-retak.

    Kereta itu begitu sesak. Ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, pak de, oom, tante, mbak-mbak, nenek, opung, bu de, pedagang, pengemis, serta kardus-kardus dan aneka tas berjejalan saling berbagi ruang. Panas. Pengap. Bau keringat. Sebuah kondisi yang bisa membuat tombol kesabaran mampu meledak kapan saja. Mana kereta jalannya kayak cacing pita lagi. Halah! (Kayak pernah lihat cacing pita ajah). Dan di suasana kayak begitu, saya pikir yang bisa saya lakukan cuma... Coba nikmati saja.... kalau saya bisa melewati perjalanan ini dengan hepi, maka saya pasti bisa melewati perjalanan lain dengan hepi pula. Yup! Sepertinya ini perjalanan terberat pertama saya. Permasalahan serius dengan alat transportasi yang menjadi kendara bepergian kali ini.

    Belum lama saya membuat pikiran untuk menstimulasi supaya saya bisa terus berpikir bahagia, pada hitungan 15 menit ketika kereta ekonomi itu melaju, gerombolan itu pun datanglah. Sekelompok orang, lelaki dan perempuan, bawa gitar sambil nyanyian, suara mereka keras, lagunya nggak bagus
    Sepanjang jalan kenangan
    versi sember, diikuti 3 lelaki pembawa kantong yang menadah ke tiap penumpang. Mereka maksa minta duit dengan cara hampir nodong. Body tiga orang pemalak itu lebih mirip begal daripada seniman, rambutnya gondrong dan bau badannya kecut (saya cium saat mereka badan mereka begitu dekat dengan hidung saya waktu mereka ngompas teman sebangku di sebalah saya), tentu saja mereka minta duit dengan cara membentak. Yaelah.... uang seribu rupiah pun terpaksa saya keluarkan dengan tak rela. Di kursi seberang, saya melihat seorang ibu bergelang emas, yang awalnya marah-marah terpaksa buka tasnya dengan wajah ketekuk setelah pengamen gadungan itu membentak,
    Dari pada ta’ copot itu kau punya emas!


    *Gubraks! Harus saya akui, peristiwa itu cukup meneror saya.

    Tapi beberapa waktu kemudian saya melihat hal lain yang mungkin memang cuma terjadi di kereta ekonomi saja. Orang-orang, para penumpang yang sebelumnya tak saling kenal itu maksudnya, perlahan tapi pasti seperti membuat sebuah pertemanan yang berjalan dengan amat alami. Bermula dari percakapan berbahasa jawa yang tak saya mengerti detailnya tapi bisa saya tangkap maksudnya, saya melihat hal yang sangat Indonesia banget. Mengharukan dan tampaknya memiliki sesuatu yang mengingatkan saya pada kata Gotong royong alias saling bantu.

    Yang punya kursi berbagi dan bergantian berdiri dengan penumpang yang nggak punya tiket dan telah berjam-jamn berdiri. Yang punya tiket, per dua atau tiga jam sekali, gantian duduk berceceran atau tiduran di lorong sepanjang gerbong dengan tampang tak terpaksa. Mereka terlihat cuek dan asik ngobrol sambil saling berkenalan dengan para penumpang lainnya. Ada yang kemudian menjadi begitu akrab karena ternyata mereka sama-sama berasal dari Blitar, ada yang kemudian tertawa ngakak karena mereka ternyata tetanggaan. Dan para pedagang, meski mereka ngerti kalau mereka sedang mencari rejeki, tapi sepertinya mereka juga tahu diri (atau memang udah tahu kondisi, secara mereka dagang di situ tiap hari). Menawarkan dagangan dengan kaki yang menyelisir pelan, mempertimbangkan para penumpang yang berserakan di sepanjang lorong gerbong. Berbagi ruang dalam kesempitan.

    Melihat banyak peristiwa yang terjadi dan beberapa di antaranya baru pertama kali saya alami, begitu saja saya teringat seorang teman. Fotografer yang memiliki banyak rencana untuk membuat esei bergambar. ”Sepertinya menarik juga membuat esei foto tentang melihat indonesia dari kereta. Hmmm...” begitu tulis saya di SMS yang saya kirim buat dia.

    Ah entahlah. Menarik atau tidak, saya akhirnya cuma bisa bernafas lega karena si kereta tak berjalan selelet yang saya prediksikan. Tengah malam di dalam gerbong, saya melihat tubuh orang-orang yang tidur dengan posisi beragam. Dari manis terpaku di tempat duduk, bergeletakan di bawah kolong, sampai nungging di ujung kardus. Sebuah pemandangan yang bikin saya senyum-senyum terharu. Dan pagi harinya, saya melihat sunrise ayang bulat bundar, rumah-rumah serta sawah dan ladang yang berkelabat saling susul dan berlarian. Ada sesuatu yang datang dan ada yang pergi serta ditinggalkan di belakang. Kereta saya ternyata sampai di Tulungagung lebih cepat setengah jam dari jadwal.*

Post Title

Naik Kereta Api... Tut, Tut, Tut...


Post URL

https://gallerygirlss.blogspot.com/2008/07/naik-kereta-api-tut-tut-tut.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls
Cpx24.com CPM Program

Popular Posts

My Blog List

Blog Archive

Total Pageviews