Powered by Blogger.

Pulang Ke Dunia Yang terbelah...

    BlogItemURL> www.ucuagustinprosa.blogspot.com



    Pernahkah kalian bertanya tentang "pulang" dan merasa aneh bahwa kalimat itu bisa berdampak sangat beda bagi setiap orang?



    Pernahkah merasa sangat tak ingin pulang tapi pada waktu bersamaan amat sangat rindu untuk berada di suatu tempat yang disebut "rumah"? Meski anehnya, justru ketika kita

    sampai di sana, tiada ada "rumah" yang kita tuju yang menjadi alasan utama kepulangan.



    Seberapa seringkah merasa perlu pulang?

    seberapa parahkah membenci kalimat "pulang"?

    Dan apakah yang kalian lakukan untuk meluangkan rindu pulang

    Dan bagaimanakah cara merespon dirindukan dan merindukan orang rumah tapi saat kita pulang ternyata kita tidak merasakan apa-apa selain perasaan hampa yang biasa saja?



    Dan tentu saja satu pertanyaan lagi yang terlalu remeh sekaligus juga tak kurang penting untuk diajukan; apakah yang kalian rasakan saat pulang dan bagaimana kalian menyebut perasaan tersebut?





    Tiada yang istimewa pada perjalanan pulangku yang kesekian, kali ini.

    Semuanya masih tetap sama. Route yang itu-itu juga.

    Polisi yang masih tetap berdiri di ruas jalan namun tak melakukan apa-apa. Kemacetan pada tempat-tempat yang sudah bisa diperkirakan. Pedagang-pedagang yang selalu sibuk menawarkan barang dari makanan sampai mainan untuk keponakan yang --bila mau jujur--

    sebenarnya tak terlalu mereka butuhkan. Pengamen yang menyanyikan lagu dengan mendayu. Pohon-pohon yang seperti raksasa hijau diam berlarian tapi tak saling kejar. Jalanan yang tak pernah menjadi semakin lebar (tambah lebar suatu jalan, tambah banyak jenis kendaraan yang berlalulalang). Perkiraan di kepala tentang hari-hari apa saja yang ramai dan dipadati kendaraan dan tentu saja strategi di benak untuk memperandaikan pada jam berapa serta saat apa, waktu yang tepat untuk pulang; ke dan dari rumah tanpa dihadang kemacetan? Phuih...



    Selalu begitu! Ya! Tetap saja sama setiap waktunya.



    Seolah semua itu adalah sebuah ritual yang selalu terjadi setiap dalam "prosesi" perjalanan menuju atau kembali dari "pulang". Ritual yang sangat akrab dan saking

    akrabnya, membuatku kerap terlupa dan tak pernah berminat untuk mencatatnya. kecuali hari ini. Ya! hari ini.



    Hari ini. Sejak alarm di HP yang kupasang pada jam 06.00 semalam menyala tepat pada pukul tersebut. Sejak pertama kali membuka mata dan langsung mendapati wajah mama yang kebetulan tertidur kembali di sebelahku setelah subuh dingin dilaluinya dengan shalat yang khidmat. Aku tahu, aku akan mencatat tentang kepulanganku kali ini. Kepulangan yang

    kesekian ratus kali dari saat aku pertama kali pergi meninggalkan rumah dan lantas dalam beberapa kali kepulangan dan perpindahan, aku menjadi bingung dan kemudian menjadi tak pernah tahu lagi yang mana yang sebenarnya lebih menjadi rumah bagiku di antara

    rumah-rumah yang pernah ku singgahi dan kujadikan tempat pulang setiap waktunya.



    Entahlah,

    Sepertinya kini aku tak tahu lagi apa artinya pulang. Tampaknya aku sudah tak mengerti lagi apa itu makna pulang yang sesungguhnya? Rasanya, pulang bagiku kini hanya sebuah perjalanan menuju suatu dunia yang membuatku terbelah, tambah bingung dan kerap menjadikanku seperti orang gila yang tak bisa membedakan lagi yang mana yang riil dan yang mana yang fiksi. Yang mana yang fakta dan yang mana yang fantasi.





    Kadang aku ingin bertanya pada orang lain.

    Apakah kita memang mempunyai banyak kehidupan?

    Lantas dalam kehidupan yang banyak itu, apakah setiap mereka itu (kehidupan tersebut) adalah riil? Lalu, adakah kehidupan yang tidak riil? Dan mengapa saat satu kehidupan bertubrukan dengan kehidupan yang lain, kita merasa kita berada dalam suatu

    realitas yang sangat nyata dan realitas diluar kehidupan yang kita jalani saat itu menjadi tampak kabur dan seolah tidak nyata?



    Mengertikah apa maksudku?

    Ah, masih bingung ya?



    Oke... begini maksudku.

    Katakan saja, aku memiliki kehidupan dalam diriku sendiri. Aku kerap bertengkar dan berdialog serta berkompromi dengan aneka kehidupan yang ada dan terpelihara dalam diriku

    sendiri (lengkap! Kehidupan tubuh dan pikirannya. kehidupan jasmani dan rohaniku).



    Di luar "kedirianku" sebagai manusia yang personal, aku mempunyai kehidupan sosial di jakarta. Menghadiri diskusi dan pemutaran film dengan cecil dan Mia. Membicarakan sastra dengan linda. ketemu dan makan mie rebus di Bu bambang dengan Agus. Sms-an menyapa

    selamat pagi atau bertanya kabar dengan arief. chatingtiap hari dengan dmitri. Membaca di gramedia dan menyadari bahwa pembuat cover bukunya adalah temanku sendiri. Main bulu

    tangkis minggu pagi dengan Dodi, hani, wildan, Irvi, atik dan Matthew. Cekikian di tengah percakapan antar teman, bicara banyak hal dengan pandangan yang ada di kepala. Menghina orang dan memujinya bila memang layak, ya.... yang semacam itulah. Kehidupan yang

    penuh dengan ritmenya.



    Dan di luar itu, beberapa ratus kilometer dari jakarta, aku juga memiliki kehidupan yang kerap ku kunjungi dan memang menjadi sumber awal keberadaanku; lingkungan keluarga di

    sukabumi.



    Aku memiliki seorang ibu genetis yang juga membesarkanku dengan caranya yang baru ku sadari beberapa waktu belakangan, sangat penuh dengan kasih sayang. Aku memiliki kakak-kakak dengan karakter yang beraneka dan seorang adik yang pemalu namun judes bila belum kenal. Adik yang menjadi pasangan bertengkarku ketika aku masih kecil.



    Dan jauh sebelum kehidupanku di jakarta pasca lulus kuliah, aku juga mempunyai kehidupan dengan teman-teman yang berbeda dan situasi yang berbeda pula.



    Jauh sebelum itu lagi... aku juga mempunyai kehidupan yang sekarang kusadari, ternyata tidak kusadari (gila! Aku tak mempunyai kesadaran tentang apa yang ku lakukan dari

    sejak aku lahir sampai aku menginjak umur 4 tahun. Sumpah! Aku tidak ingat sama sekali apa yang terjadi pada waktu itu). Dan aku juga bertanya...

    apakah sebelum kehidupan masa bayi yang tak kusadari itu, adakah aku mempunyai kehidupan lain lagi yang jauuuuuhhhhh.... sangat tak kusadari dan tak kuketahui?



    Tapi oke! Kita batasi saja kehidupan yang bermasalah ini, menjadi 2 kehidupan saja;

    kehidupan jakarta dan kehidupan sukabumi!



    Sungguh! jangankan dengan banyak kehidupan yang aku sebut di atas. Dengan dua kehidupan saja aku sudah bingung dan kadang merasa frustasi. Yang mana yang sebenarnya lebih riil? Kehidupan di sukabumi dan permasalahannya? Ataukah kehidupan di jakarta dan permasalahannya?



    Manakah yang lebih layak kujadikan tempat pulang? Sukabumi yang hanya aku berada di sana sampai umur 13 tahun dikurangi 4 tahun masa balita yang tak ku sadari atau Jakarta di mana aku telah hidup dan menjadi bagian darinya selama 14 tahun meski masih kerap aku merasa tidak begitu akrab dan aku menyadari dengan pasti, kota ini bukanlah kotaku. Tidak! kota ini sama sekali bukan kotaku....

    Aku tidak seperti jakarta, tapi sumpah! Aku juga merasa aku tidak seperti sukabumi.



    Dan kepulangan kali ini...

    Sungguh!kepulangan kali ini membuatku berpikir lebih banyak tentang banyak hal.



    Saat aku di rumah di sukabumi, aku berpikir, inilah kehidupan yang sebenarnya itu; ada masalah yang kongkret. Tetangga pergi menjadi tkw karena di kampung susah kerjaan. Sepupu ada yang bercerai karena suaminya menikah lagi. Keponakanku akan pindah ke pelabuhan ratu lalu terjadi perselisihan antara kakakku dan istrinya tentang pendidikan anak mereka. Rental Play station, usaha rumahan salah seorang kakakku sekarang sepi bener karena

    anak-anak nggak lagi main di sana tapi lebih suka ke cisaat sekalian jalan-jalan ke kota, dll, dst, dsb. Dan dengan segala kenyataan itu, tiba-tiba saja aku berpikir; inilah realitas itu! Bukan seperti yang aku hadapi di jakarta!



    Tapi kalau begitu...

    apakah yang terjadi di kehidupanku di jakarta tersebut apakah itu bukan realitas? Padahal kehidupan itu ada dan bukan rekaan. padahal mereka teman-temanku itu, begitu nyata dan begitu hidup. Kehidupannya di sana sering kurenangi dan kerap membuatku menangis juga

    terpingkal-pingkal. Kalau begitu, tangisanku tak nyatakah? Tertawaku adalah mimpikah?



    Dan sebaliknya,

    saat aku di Jakarta, aku merasa yang di sukabumi itu bukan kehidupan! Yang di jakarta inilah kehidupanku! Pergi bersama teman-teman dan menikmati sisa hari yang masih bisa dinikmati. Menonton sendiri film-film di kamarku yang membuat aku berpikir dan menikmati hidup. tersenyum juga menangis tergantung ceritanya. Mengejar bus, membekapi hidung menahan buruknya udara jalan saat naik bajaj atau kala naik taksi dan membiarkan panas tak bisa menyentuhku ketika aku berangkat ke kantor setiap hari kerja. Menghabiskan malam di depan internet gratis milik kantor sambil meratap dalam hati... betapa menyedihkannya menghabiskan sabtu malam di depan internet sendiri (hi hi, ini sih nasib jomblo! :)

    ya... aku menerima saja deh keadaan ini) Dan aku menjadi begitu sangat individual dan merasa bahwa inilah hidupku! Inilah kehidupan itu!



    Tapi bila tiba-tiba kesadaranku menyergap, aku langsung bertanya sendiri. Lantas bila ini yang disebut kehidupan itu, apa namanya yang terjadi di sukabumi sana? Apakah sebenarnya keluargaku itu, kalau mereka bukan kehidupan juga? Apakah mereka bagiku

    cuma seonggok hubungan yang fungsinya cuma menghubungkanku dengan segepok kesadaran akan asal-usul fakta genetisku saja? Tapi bila memang begitu adanya mereka bagiku, mengapa sentuhan sapa mereka kadang terasa begitu hangat dan terasa sayangnya. Senyum dan sentuhan mereka begitu nyata, dan begitu pula saat kesalnya. Terasa sekali kemarahannya. Dan dalam beberapa banyak kejadian, saat aku begitu lelah di jakarta, kerap di sukabumi aku merasa mendapat kehidupan....



    So...

    Apakah aku yang kurang kerjaan karena menjadi bingung untuk hal yang tak perlu dibingungi oleh kebanyakan orang? Apakah lagi-lagi aku cuma memperumit diri dengan segala pertanyaan pulang yang kuajukan di atas?



    Sumpah! Seharian sejak kemarin aku benci kalimat itu.



    Aku benci Pulang! Aku tak mau pulang! Aku tak ingin pulang kemanapun dan tak mau pulang dari manapun. Bila harus berdiam di suatu tempat, biarlah tempat itu yang menjadi tempat ku tanpa ada kata pulang atau pergi. tanpa ada kata rumah kedua atau tanah kesekian. Dua saja tempat yang membelah aku menjadi dua orang yang berbeda, sudah cukup membingungkan. Apalagi kalau empat atau lima, atau harus menjadi petualang yang rumahnya adalah seluruh tempat penjelajahannya. Aku pasti nggak kuat. Aku mungkin tak mampu. Meski tentu bagiku yang suka dengan banyak hal baru, petualangan dan penjelajahan pastilah suatu hal yang sangat menarik dan menggiurkan. Tapi Aku nggak suka dibelah-belah, aku ingin tetap menjadi diriku di manapun aku berada. Tidak di jakarta, tidak di sukabumi.



    Tapi keinginan, memang kadang mempunyai cara kerjanya sendiri. Sama seperti kenyataan. Kenyataan menyatakan cara kerjanya melalui realitas. Realitas adalah yang dihadapi saat itu dengan segala yang terjadi di sana beserta segenap konsekuensinya dan semua tindakan yang sedang kita lakukan. Dan aku ... ah, Ck, ini pasti karena aku bego saja.



    Aku kerap tidak siap menghadapi realitas yang amat berbeda dari realitas sebelumnya. atau mungkin dengan kata lain, aku tidak mampu melakukan suatu loncatan yang bersinar dan penuh persiapan. Sehingga ketika memasuki kembali keadaan baru yang sebenarnya tidak baru juga karena sering aku masuki keadaan itu, aku tidak perlu kaget lagi.



    Phuiiiiiih....

    PUlang ke dunia yang terbelah bagiku adalah siksaan berat. Menghadapi orang yang berbeda, ternyata membuat kita menjadi orang yang berbeda pula. Lantas di manakah diri kita yang sebenarnya? yang manakah diri kita yang sebenarnya?



    Jangan beritahu aku tentang kenyataan yang berbeda. jangan jawab pertanyaanku di atas dengan pernyataan bahwa kehidupan yang ku hadapi itu adalah yang kehidupan yang berbeda dengan realitas yang berbeda dan cara menyikapi yang harus juga berbeda. Tapi Beritahu aku tentang mengapa bingung itu kerap hinggap? tentang yang apakah itu rumah? dan mengapa aku benci bila disuruh pulang? serta mengapa kita bisa membelah diri seperti mahluk yang berspora? (semoga jawabannya tidak karena kita sebenarnya adalah sejenis alien ;)



    yang ku tahu...

    aku tak suka kalau sudah menetap di suatu rumah, aku diminta untuk keluar. seperti tidak sukanya aku harus pulang ke jakarta kalau sudah di sukabumi dan betapa bencinya aku kalau sudah di jakarta lantas disuruh pulang ke sukabumi.



    Dari semua yang kutumpahkan ini, aku merasa sepertinya aku butuh rumah...

    Tapi untuk apa? bukankah selama ini aku juga sudah punya rumah? dua malah. Dan ku ingin kalian tahu, aku membenci perjalanan itu. perjalanan pulang yang selalu membawaku menuju dunia yang terbelah dan sebagai konsekuensinya membuat aku menjadi orang yang terbelah juga.





    TIdak kah kalian merasakan hal yang sama?





    Ah, mungkin aku sedangp using sajah....







Post Title

Pulang Ke Dunia Yang terbelah...


Post URL

https://gallerygirlss.blogspot.com/2004/10/pulang-ke-dunia-yang-terbelah.html


Visit Gallery Girls for Daily Updated Gallery Girls
Cpx24.com CPM Program

Popular Posts

My Blog List

Blog Archive

Total Pageviews